“Ohayou gozaimasu”
Arini menoleh kearah datangnya suara
itu dan alangkah terkejutnya Arini melihat pemilik suara itu. Dia adalah laki-laki
itu, orang Jepang yang dia lihat saat dia pertama kali ke Sunset Magazine. Orang Jepang yang berkulit agak
kecoklatan tingginya sekitar seratus
tujuh puluhan centimeter, berambut
pendek
dan berwarna hitam dan diberi gel agar
tampak berdiri seperti bulu landak.
“Tada, ini Arini.
Staff baru disini. Arini, ini Matsumoto Tadayoshi, dia fotografer freelance
disini”, kata Akiko memperkenalkan
Arini dengan laki-laki itu.
“Matsumoto desu. Yoroshiku
onegaishimasu –saya Matsumoto. Mohon bantuannya”, kata laki-laki itu sambil
mengulurkan tangannya pada Arini yang segera berjabat tangan dengan laki-laki
itu.
“Saya Arini. Mohon bantuannya,
Matsumoto san”, balas Arini.
“Akiko, ini foto untuk cover Sunset
Magazine untuk edisi bulan depan”, kata Tada pada Akiko.
“Oke. Terima kasih”, kata Akiko.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku ada
pekerjaan di tempat lain hari ini”, kata Tada lagi.
“Ya, aku mengerti. Kamu kan memang
orang sibuk. Hati-hati ya”, kata Akiko.
“Oke. Terima kasih”, jawab Tada dan
kemudian dia berjalan meninggalkan ruangan Divisi Jepang dan menghilang dibalik
pintu.
Arini masih tidak percaya dengan apa
yang dialaminya tadi. Dia berjabat tangan dengan laki-laki itu yang ternyata
adalah salah satu fotografer freelance di Sunset Magazine dan satu
divisi dengan Arini.
“Apakah ini yang namanya takdir?”,
sekilas terlintas kalimat itu dalam benak Arini. “Sudahlah. Yang jelas aku
harus lebih fokus dengan pekerjaanku. Yosh, ganbare Arini”, katanya
dalam hati.
Saat ini diruangan Divisi Jepang hanya
ada Arini dan Akiko. Staff yang lainnya sedang mencari berita dan melakukan
wawancara dengan narasumber untuk artikel Sunset Magazine edisi selanjutnya.
Karyawan di Divisi Jepang Sunset Magazine hanya ada lima orang termasuk Akiko
dan ditambah dengan Arini kini menjadi enam orang.
“Arini, ini konsep untuk artikel Sunset
Magazine edisi berikutnya. Silahkan kamu pelajari dulu. Besok kita akan
hunting-hunting foto untuk artikel ini”, kata Akiko sambil menyerahkan beberapa
lembar kertas pada Arini. Tema untuk artikel edisi berikutnya yang harus
dikerjakan oleh Arini dan Akiko adalah pernikahan dan konsep kali ini adalah Wedding
in Paradise.
“Baiklah, Nakayama san”, jawab Arini.
Arini membaca dengan seksama kertas
yang diberikan oleh Akiko. Dia ingin melakukan yang terbaik untuk pekerjaan
pertamanya ini. Awalnya Arini mengalami kesulitan untuk mencerna apa yang
tertulis di kertas tersebut, namun untunglah Akiko mau mengajari Arini.
Penjelasan yang diberikan Akiko cukup mudah dimengerti, sehingga Arini tidak
perlu waktu yang lama untuk memahaminya.
“Sudah jam dua belas lewat sepuluh
menit. Arini, ayo istirahat dulu”, kata Akiko. “Saya mau ke kantin. Kamu mau
ikut?”, tambah Akiko.
“Ah, iya, saya ikut”, jawab Arini.
Mereka berdua pun pergi untuk makan
siang di kantin Sunset Magazine yang terletak di lantai satu. Sekarang ruangan
Divisi Jepang Sunset Magazine pun kosong, tak ada seorang pun disana.
****
Jam
dinding di ruangan Divisi Jepang Sunset Magazine sudah menunjukkan pukul lima
sore lewat lima menit dan itu tandanya jam kerja pun telah berakhir. Semua hal
yang diperlukan untuk hunting foto keesokan harinya sudah disiapkan oleh
Arini dengan sebaik mungkin.
“Nakayama
san, saya sudah menyiapkan semua yang diperlukan untuk besok sesuai dengan
list. Silahkan dicek sekali lagi”, kata Arini pada Akiko.
“Arigatou
gozaimasu”, kata Akiko yang kemudian memeriksa apa yang telah disiapkan
Arini. “Semuanya sudah lengkap. Terima kasih Arini. Kamu boleh pulang
sekarang”, kata Akiko setelah ia selesai memeriksa benda-benda yang diperlukan
untuk pekerjaan keesokan harinya.
“Terima
kasih Nakayama san”, kata Arini dan dia segera membereskan mejanya lalu mengambil
tasnya.
“Lho,
Nakayama san tidak pulang?”, tanya Arini yang melihat Akiko masih mengerjakan
sesuatu.
“Iya
sebentar lagi. Kamu pulang saja duluan. Hari ini kamu ada kuliah kan?”
“Iya
ada. Kalau begitu saya pulang duluan. Shitsurei shimasu - permisi.”
Arini
pun meninggalkan Akiko sendirian di ruangan Divisi Jepang dan segera bergegas
pulang karena Arini harus kuliah malam ini. Sesampainya di parkiran Arini
bertemu dengan Tada yang terlihat baru saja memarkir mobilnya tak jauh dari
tempat Arini memarkir motornya. Tada pun tersenyum pada Arini. Dan senyuman
Tada itu membuat Arini merasa tak bisa menolak pesona Tada.
“Astaga,
dia tersenyum”, kata Arini dalam hati dan tanpa sadar Arini pun ikut tersenyum
membalas senyumam Tada.
Mereka
tidak saling menyapa satu sama lain, dan Tada langsung menuju pintu masuk
Sunset Magazine dan perlahan mulai menghilang dari pandangan Arini. Arini masih
tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian yang baru saja dia alami.
“Pasti
aku betah disini kalau ada cowok ganteng seperti Matsumoto san setiap hari”,
pikir Arini.
****
“Arini”,
tiba-tiba ada suara yang memanggil Arini saat dia akan menaiki tangga menuju
lantai dua gedung timur kampusnya.
Telinga
Arini sudah sangat akrab dengan suara yang baru saja memanggilnya. Suara itu
milik Jun, teman sekelas Arini sekaligus sahabatnya sejak semester pertama
Arini menjadi mahasiswi. Arini pun menoleh kearah laki-laki kurus itu. Jun
tidak terlalu tinggi, tetapi tidak pendek juga. Kulitnya putih dan rambutnya
berwarna coklat kehitaman senada dengan warna bola matanya. Jun pun berjalan
menghampiri Arini yang telah menghentikan langkahnya karena menunggu Jun. Mereka
berdua memang sangat akrab, sampai seringkali orang-orang mengira mereka adalah
sepasang kekasih.
“Rin,
gimana hari pertama kerjanya?”, tanya Jun yang sekarang berjalan bersama Arini
di koridor lantai dua menuju kelas mereka.
“Syukurlah
semuanya lancar”, jawab Arini sambil tersenyum.
“Sepertinya
ada yang menarik nih?”, kata Jun lagi.
“Himitsu
–rahasia”, kata Arini dengan senyum tersurat di bibirnya.
Kata
“rahasia” yang terucap dari bibir Arini membuat Jun semakin penasaran akan apa
yang terjadi di hari pertama Arini bekerja. Setelah meletakkan tas nya diatas
bangku, Jun yang masih penasaran pun menghampiri Arini.
“Rin,
ayo cerita. Pasti ada yang seru ya. Jangan buat aku penasaran.”
“Himitsu”,
lagi-lagi Arini mengulangi.
“Ya
sudahlah. Berhubung aku kakak yang baik, jadi aku tunggu deh sampai kamu mau
cerita”, kata Jun menyerah membujuk Arini untuk bercerita.
“Lagi-lagi
Jun pakai jurus itu. Iya, aku akan cerita”, kata Arini.
“Sudah
ku duga, pasti berhasil”, kata Jun sambil tersenyum.
Arini
sudah menganggap Jun seperti keluarganya sendiri, tepatnya seorang kakak. Meskipun
mereka satu angkatan dan sekelas, tapi Jun berusia lebih tua satu tahun dari Arini.
Dari awal Jun memang sudah menganggap Arini seperti adiknya sendiri dan Arini
yang anak tunggal pun menerima tawaran Jun untuk menjadi kakaknya dengan senang
hati. Jun merupakan tempat Arini berbagi segala keluh kesah maupun kebahagiaan.
Tidak ada hal yang ditutupi Arini dari
Jun, begitu juga sebaliknya.
Saat
Arini akan mulai menceritakan hari pertamanya bekerja, korti kelas mereka
memberitahukan kalau dosen untuk mata kuliah jam pertama hari ini tidak dapat
mengajar karena sedang sakit, lalu sebagai gantinya mereka harus mengerjakan
tugas yang diberikan.
“Jun, nanti
saja aku lanjutkan ceritanya. Sekarang kita kerjakan saja ini dulu”.
“Tentu
saja ini yang harus didahulukan”.
Mata
kuliah saat ini adalah terjemahan. Mereka mendapat tugas menerjemahkan beberapa
paragraf cerita yang diambil dari sebuah novel berbahasa Jepang. Setelah
sepuluh menit mengerjakan tugas itu, Arini memanggil Jun.
“Jun,
kanji ini apa bacaannya ya? Hehehe…”, tanya Arini.
“Ah,
kamu ini payah, sudah semester seperti sekarang tapi kanji semudah itu saja
tidak bisa kamu baca”, jawab Jun.
“Yeee…
Jangan galak gitu dong. Dasar Jun. Ya sudah aku tanya sama yang lain aja. Jun
pelit”, kata Arini.
“Wew,
ngambek. Adik manis jangan ngambek dong”, rayu Jun.
“Biarin.
Pokoknya gak akan aku ceritakan tentang hari pertama kerjaku pada Jun”, kata
Arini lagi.
Mata
Arini kembali terarah pada foto copy teks yang ada di depan matanya lalu lanjut
mengerjakan tugasnya dan tidak menghiraukan omongan Jun. Mereka berdua memang
sering terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran karena hal-hal sederhana karena
mereka berdua sama-sama keras kepala. Tapi pertengakaran mereka hanya akan
berlangsung paling lama sepuluh menit.
“Jun…”,
kata Arini
“Apa?”
“Aku
menyerah yang bagian ini. Aku boleh liat punya Jun ya. Hehehe …”, kata Arini.
“Tuh
kan, akhirnya tanya juga”, kata Jun sambil memberikan kertas jawabannya
tugasnya yang sudah selesai pada Arini.
“Arigatou,
Jun”
Tujuh
menit kemudian Arini berhasil menyelesaikan tugasnya, meskipun dia mencontek
beberapa kalimat pada Jun. Setelah mengumpulkan tugasnya, Arini dan Jun
memutuskan untuk pergi ke kantin sekaligus melanjutkan cerita Arini yang
tertunda.
Arini
menceritakan yang dia alami hari ini pada Jun. Saat menceritakan tentang
seorang laki-laki bernama Matsumoto Tadayoshi, Arini tidak bisa menyembunyikan
senyuman di wajahnya. Dia sangat antusias saat menceritakan tentang Tada.
“Jangan
jangan kamu jatuh cinta sama Matsumoto itu ya?”, kata Jun tersenyum.
“Ah,
masa sih? Aku kan baru dua kali bertemu dengannya, jadi hal itu sepertinya
tidak mungkin terjadi”, Arini menyanggah kata-kata Jun.
“Saaa….
Siapa yang tahu kan. Kata orang cinta itu bisa muncul kapan saja dan dimana
saja”, kata Jun lagi.
“Jun
sok tahu. Padahal Jun juga minus pengalaman kan. Menyatakan cinta sama cewek
aja gak pernah”, sindir Arini.
“Wah,
apa-apaan ini? Kenapa jadi aku yang diserang?”
“Sudah
lupakan saja”, kata Arini yang saat ini senyumnya sudah memudar dari wajahnya.
***
Denpasar
di pagi hari. Pukul sembilan kurang sepuluh menit, Arini sudah sampai di kantornya,
Divisi Jepang Sunset Magazine. Hari ini untuk pertama kalinya Arini akan
bekerja langsung dilapangan. Jadwal kerja hari ini adalah pemotretan untuk
artikel Sunset Magazine dan wawancara dengan seorang make-up artist yang
biasa menjadi perias pengantin di salah satu Wedding Organizer yang ada di
Bali. Lokasi pemotretannya adalah di sebuah hotel yang sering menjadi pilihan
orang Jepang untuk melangsungkan pernikahannya di Bali yang ada di daerah Nusa
Dua.
“Arini,
tolong bawa semua perlengkapan yang sudah disiapkan kemarin dan masukkan
kedalam mobil. Lima menit lagi kita berangkat”, kata Akiko.
“Baik
Nakayama san”
Setelah
semuanya beres, Arini dan Akiko pun berangkat ke lokasi pemotretan. Perjalanan
mereka sedikit terhambat karena sedang ada perbaikan jalan dan pembuatan lajur jalan
yang baru. Akiko yang sedang menyetir pun sedikit menghela nafas.
“Huft.
Setiap hari selalu saja macet. Kapan ya jalan ini selesai diperbaiki?”, kata
Akiko.
“Menurut
berita, selesainya tahun depan”, jawab Arini.
“Semoga
saja cepat selesainya. Saya lelah kalau harus terjebak dalam kemacetan seperti
ini setiap harinya”, keluh Akiko.
Arini
mengangguk pertanda mengiyakan pernyataan Akiko. Selama sepuluh menit kendaraan
mereka tidak bisa bergerak sama sekali. Lalu Akiko menyalakan musik di mobilnya
untuk mengusir kepenatan di tengah kemacetan seperti itu.
“Fotografer
untuk hari ini adalah Matsumoto san. Nanti kita akan bertemu di lokasi”, kata
Akiko tiba-tiba.
“Baik”,
jawab Arini singkat dan Arini merasa senang karena bisa bertemu lagi dengan Tada
hari ini.
Lima
puluh lima menit kemudian Akiko dan Arini sampai di hotel yang mereka tuju.
Dari kejauhan mereka melihat mobil Tada sudah terpakir rapi di tempat parkir
dan terlihat Tada yang baru keluar dari mobilnya. Akiko menyerahkan SIM nya
pada satpam untuk ditukar dengan kartu tanda pengunjung, lalu Akiko segera
mencari tempat untuk memarkir mobilnya. Kemudian Arini mengeluarkan tas dari
mobil yang berisi recorder, beberapa buku catatan dan pulpen, daftar pertanyaan
yang akan dipakai saat wawancara nanti dan perlangkapan lainnya. Lalu mereka
berdua menghampiri Tada.
“Ohayou
gozaimasu”, Akiko dan Arini menyapa Tada.
“Ohayou
gozaimasu”, Tada yang sedang menyiapkan kameranya balas menyapa.
“Semuanya
sudah siap?”, tanya Akiko pada Tada.
“Sudah”,
jawab Tada sambil memasukkan beberapa lensa kamera, baterai, dan memory card
ke dalam tas yang akan dibawanya saat pemotretan, lalu dia mengalungkan
kameranya dilehernya dan menggantungkan kameranya yang satu lagi di bahunya dan
menjinjing tasnya yang berisi lensa kemera.
Akiko
berjalan duluan masuk kedalam hotel yang kemudian diikuti oleh Tada dan Arini
berjalan paling belakang. Mereka tidak masuk ke hotel melalui lobi, tetapi
melalui pintu samping. Koridor yang mereka lalui cukup panjang, dan akhirnya
mereka sampai di sebuah ruangan di ujung koridor. Didepan ruangan itu tertulis
Flower Wedding Office. Akiko mengetuk pintu sambil mengatakan “Shitsurei
itashimasu-permisi”.
“Hai”,
terdengar jawaban dari dalam ruangan itu.
Akiko,
Arini dan Tada kemudian masuk keruangan itu. Ruangan itu terlihat seperti ruangan
kantor pada umumnya, dan di dekat pintu masuk ada satu set sofa dan sebuah meja
kecil yang diperuntukkan bagi tamu, Ada seorang laki-laki yang merupakan supervisor
in charge hari itu dan seorang staff wanita yang berusia sekitar awal tiga
puluhan tahun. Keduanya adalah orang Jepang.
“Ohayou
gozaimasu”, kata Akiko dan Tada bergantian.
“Ohayou
gozaimasu, Nakayama san, Matsumoto san”, wanita itu balas menyapa dan kemudia
laki-laki itu pun ikut menyapa.
“Murakami
san, Tanaka san, perkenalkan, ini staff baru kami, namanya Arini”, Akiko
memperkenalkan Arini pada kedua orang Jepang itu, yang wanita bernama Murakami
dan yang laki-laki bernama Tanaka.
“Perkenalkan,
saya Arini. Mohon bantuannya”
“Mohon
bantuannya”.
“Nakayama
san, Matsumoto san, mari kita langsung ke lokasi saja. Modelnya sudah siap.
Setelah sesi pemotretan baru kita lakukan sesi wawancara dengan Takano, make
up artist kami”, jelas Murakami pada Akiko.
“Baiklah”.
Mereka
pun menuju ke lokasi pemotretan, yaitu sebuah taman yang ditengahya ada kolam
ikan yang cukup luas dan diatas kolam itu ada sebuah jembatan kayu yang
menghubungkan sisi kolam satu dengan sisi lainnya. Taman itu didominasi dengan
pohon kamboja yang bunganya berwarna putih dan kekuningan.
Tada kini telah bersiap-siap untuk melakukan
pemotretan, modelnya pun sudah siap. Model wanita memakai baju pengantin
berwarna putih yang elegan dan dihiasi dengan payet berwarna putih mengkilap.
Sedangkan model laki-lakinya memakai setelan jas berwarna putih pula. Tada
mulai mengarahkan model untuk berpose sesuai dengan yang dia inginkan. Saat
sedang bekerja Tada terlihat sangat serius dan terkesan sangat tidak ramah.
Senyum yang dilihat Arini di wajah Tada kemarin, saat ini sudah hilang dari
wajahnya.
“Matsumoto
san terlihat berbeda dari yang kemarin”, pikir Arini. “Tapi mungkin saja dia
begitu hanya saat sedang bekerja”.
“Arini,
ayo kita tunggu disebelah sana”, ajak Akiko.
“Eh?”,
reaksi dari Arini.
“Sebelum
Tada marah-marah kerena kita menghalanginya, jadi lebih baik kita tunggu disana
saja. Di saat-saat seperti ini, Tada bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan
kalau dia merasa terganggu”, kata Akiko lagi.
“Eh?”,
kata Arini bingung.
“Sudah
ikut saja”.
Arini
mengikuti perintah Akiko dan mereka menunggu tak jauh dari kolam yang ada di
taman itu. Arini masih tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Akiko tentang
Tada.
Arini
terus memperhatikan cara kerja Tada yang seorang fotografer professional.
Dengan cekatan dia memotret modelnya dalam berbagai pose dan dengan latar
pemandangan yang berbeda. Saat ini tada sedang meminta modelnya berpose di atas
jembatan. Setelah memotret beberapa kali, tiba-tiba saja Tada berteriak pada
Arini.
“Arini,
jangan berdiri disana. Omae, jama –kamu mengganggu”, kata Tada dengan nada
suara tinggi.
“Akiko,
kamu juga, pindah dari sana”, kata Tada lagi.
Kata-kata
Tada dengan nada tinggi itu membuat Arini terkejut.
“Apa?”,
kata Arini dalam hati.
“Omae,
jama”, kalimat itu terus terngiang di telinga Arini dan itu membuatnya kesal. Tada
yang tadinya terlihat baik dimata Arini, kini nilai kebaikan Tada mulai
berkurang satu poin dimata Arini.
Yoshi’s note:
Ohisashiburi…
Ternyata Album
Tanpa Judul udah tiga bulan gak di update. Hahahhaa…
Maklum saja, penulis gaje. Oke tanpa basa basi lagi,
Terima kasih buat para pembaca yang sudah sudi membaca karya gaje ini.
Maklum saja, penulis gaje. Oke tanpa basa basi lagi,
Terima kasih buat para pembaca yang sudah sudi membaca karya gaje ini.
Arigatou…..
Mohon di tunggu Album selanjutnya ya
Ja, Yoshi deshita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar