Selasa, 24 Desember 2013

You Are My Sunshine

Yozora no Shita de


Bulan September, awal musim gugur. Hari-hari di bulan September sudah tidak sepanas hari-hari di musim panas. Hembusan angin musim gugur mulai terasa di kejauhan. Daun-daun pohon maple pun sepertinya mulai bersiap untuk berubah warna.
           Pagi itu Keisuke berniat membeli sekaleng kopi di mesin penjual minuman otomatis yang ada di depan toko yang tidak jauh dari rumahnya. Namun, saat akan mengambil uang dari dompetnya, Keisuke menyadari jika dompetnya tidak ada di tas sekolahnya. Keisuke berusaha mengingat dimana kira-kira dia meletakkan dompetnya.
           “Dompetku dimana ya?”
           Sekeras apapun Keisuke mencoba mengingatnya, dia tidak mendapatkan petunjuk dimana keberadaan dompetnya. Keisuke pun membatalkan niatnya untuk membeli minuman kaleng pagi itu. Dia mengayuh sepedanya perlahan melewati jalanan di pagi hari yang masih sepi menuju ke sekolahnya. Hembusan angin yang sejuk menerpa wajah Keisuke sepanjang perjalanan dan lima belas menit kemudian dia sampai disekolahnya, SMA Seinen.
           Keisuke memarkir sepedanya dan segera bergegas memasuki gedung sekolahnya. Namun, saat Keisuke memasuki halaman sekolahnya terdengar teriakan seorang gadis memanggil namanya dari arah gerbang sekolahnya.
“Keisuke….Keisuke…. Tunggu aku”, teriak gadis itu dan Keisuke pun menoleh.
Gadis itu ternyata Miyata Tomoko, teman sekelas Keisuke sekaligus sahabatnya sejak SMP. Keisuke pun menghentikan langkahnya. Dari kejauhan terlihat Tomoko berlari kecil kearah Keisuke sambil melambaikan tangannya. Keisuke pun membalas lambaian tangan sahabatnya itu. Saat Tomoko sudah hanya tinggal beberapa langkah lagi dari tempat Keisuke berdiri terlihat wajah Tomoko yang tersenyum.
“Keisuke, ini”, kata Tomoko sambil menyerahkan dompet Keisuke dan Keisuke pun terkejut.
“Eh? Kenapa dompetku ada padamu?”, Tanya Keisuke bingung.
“Rahasia”, jawab Tomoko sambil tersenyum mencurigakan.
“Eh?”
           Sambil tersenyum bahagia Tomoko meninggalkan Keisuke yang sedang bingung dibelakangnya. Keisuke yang masih bingung mengejar Tomoko sambil terus memaksa Tomoko mengatakan alasan kenapa dompetnya bisa ada pada Tomoko. Namun Tomoko hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun pada Keisuke.
Keisuke meletakkan tasnya diatas meja. Sesekali dia melihat kearah Tomoko yang duduk dibelakangnya. Keisuke merasa aneh, kenapa Tomoko senyum-senyum tidak jelas seperti itu. Pasti ada seseuatu yang membuat Tomoko seperti itu dan pasti ada alasan juga kenapa dompet Keisuke ada pada Tomoko.
“Eh, Tomoko, hari ini kamu aneh deh”.
“Apanya yang aneh? Biasa aja kok”.
“Lalu kenapa kamu senyum-senyum tidak jelas begitu dari tadi?”, tanya Keisuke.
“Tadi, aku bertemu dengan Koike senpai didepan gerbang sekolah”, jawab Tomoko sambil tersenyum.
           “Koike senpai?”, Keisuke menjadi semakin bingung. “Siapa Koike senpai?”,tanya Keisuke lagi.
“Senpai keren dari kelas 3-1 itu. Masa Keisuke tidak tahu”, kata Tomoko.
“Orang yang kamu suka sejak kita kelas satu itu?”, kata Keisuke yang teringat akan seseorang bernama Koike.
“Ssstttt….Keisuke, Jangan keras-keras. Aku kan malu”.
“Memangnya ada urusan apa dia ketemu sama kamu tadi?”, tanya Keisuke penasaran.
“Sebenarnya dia tidak ingin ketemu aku sih. Tadi dia menitipkan dompet Keisuke padaku. Tapi tidak apalah yang penting aku bisa bicara sama dia”.
“Eh?”, Keisuke kaget dan tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Aku ingat sekarang. Kemarin aku pergi ke Internet Café dan staffnya seorang laki-laki tampan yang sepertinya seumuran dengan kita”, kata Keisuke.
“Internet Café dimana?”, tanya Tomoko.
“Daichi Internet Café”, jawab Keisuke.
“Apa Koike senpai kerja sambilan disana ya? Aku ingin kesana. Temani aku kesana ya”, Tomoko membujuk Keisuke.
“Iya. Nanti pulang sekolah aku temani kesana. Aku juga malas pulang kerumah”, kata Keisuke.

******
Bel tanda pelajaran hari ini selesai pun berbunyi. Murid-murid dikelas Keisuke segera memasukkan buku-buku mereka kedalam tas dan segera bergegas untuk pulang kerumah masing-masing. Keisuke dan Tomoko yang akan pergi ke internet café tempat Koike bekerja sambilan pun segera meninggalkan ruangan kelas. Daichi Internet Café yang mereka tuju tidak begitu jauh dari sekolah mereka hanya sepuluh menit jika ditempuh dengan naik sepeda atau 20 menit apabila berjalan kaki. Dua puluh menit kemudian mereka sampai di Daichi Internet Café. Keisuke memarkir sepedanya ditempat parkir yang tersedia dan Tomoko menunggu Keisuke di depan pintu masuk. Setelah memarkir sepedanya mereka pun segera masuk kedalam internet café itu.
“Selamat Datang”, kata staffnya.
“Selamat sore. Yang kosong disebelah mana ya?”, tanya Keisuke pada staff itu.
“Mari saya antar”, kata staff itu pada Keisuke dan Tomoko.
Keisuke dan Tomoko pun berjalan mengikuti staff internet café itu. Namun, saat tiba bilik yang kosong itu, tiba-tiba ponsel Tomoko berbunyi pertanda ada pesan masuk. Pesan itu dari kakaknya.
To : Tomoko
From : Sachiko
Tomoko, kamu dimana? Kamu kan sudah janji mau menemaniku belanja. Cepat pulang.

           Tomoko pun ingat kalau dia ada janji dengan kakaknya. Dia pun bergegas pulang sebelum kakaknya marah-marah padanya.
           “Keisuke, maaf ya aku harus pulang. Aku lupa ada janji dengan kakakku”, kata Tomoko pada Keisuke
           “Iya, tidak apa-apa. Cepat pulang sana sebelum Kak Sachiko marah padamu”, kata Keisuke.
           Akhirnya Keisuke memutuskan untuk main games online seperti biasanya dan sesekali dia membaca arikel-artikel tentang astronomi. Salah satu artikel itu menyatakan bahwa tanggal 14 September akan ada hujan meteor dan kemungkinan bisa terlihat di Jepang.
           “Aku ingin melihatnya”, gumam Keisuke dalam hatinya.
          Hari itu berjalan begitu cepat. Keisuke yang sedang asyik bermain games pun melihat arlojinya. Dan diapun terkejut, sudah pukul tujuh malam. Jika dia tidak segera pulang pasti ibunya akan marah padanya. Dia pun mengambil tasnya lalu menuju meja kasir untuk membayar. Sesampainya di meja kasir, staff yang tadi melayaninya tidak ada lagi tapi dia sudah digantikan oleh seorang laki-laki yang diketahui bernama Koike, orang yang disukai oleh Tomoko.
           “Koike senpai, terima kasih sudah mengembalikan dompetku”, kata Keisuke.
           “Sama-sama”, kata orang yang bernama Koike itu.
           “Senpai sudah lama bekerja sambilan disini?”, tanya Keisuke berbasa-basi sambil membayar.
           “Sejak setahun yang lalu”, katanya sambil menyerahkan kembalian Keisuke.
           “Terima kasih”, kata Keisuke.
           “Terima kasih, silahkan datang kembali dan jangan lupakan dompetmu lagi”.
           Keisuke pun tersenyum dan segera meninggalkan internet café itu.

           Beberapa hari kemudian, Tomoko mengajak Keisuke ke internet café itu lagi. Tapi Keisuke menolaknya.
           “Keisuke, hari ini temani aku kesana lagi ya. Tolonglah”, bujuk Tomoko.
           “Maaf Tomoko hari ini aku tidak bisa”, kata Keisuke lalu dia meninggalkan kelasnya karena saat ini masih jam istirahat.
           Besok tanggal 15 September dan itu adalah hari ulang tahun Keisuke. Tahun lalu Keisuke masih bisa merayakan ulang tahunnya dengan keluarga yang harmonis. Apakah tahun ini hal seperti itu bisa dia rasakan lagi? Sejak awal tahun ini kedua orang tuanya selalu bertengkar dan kakak laki-lakinya pun meninggalkan rumah sejak beberpa bulan yang lalu karena tidak tahan melihat pertengkaran kedua orang tua mereka. Keisuke merasa keluarganya yang dulu harmonis kini sudah hancur. Dengan pikiran yang bercampur aduk Keisuke menaiki satu persatu anak tangga menuju atap sekolahnya. Dia membuka pintu yang ada diujung tangga itu dan seketika hembusan angin musim gugur yang sejuk menerpa wajahnya. Memilukan, itulah yang dirasakan Keisuke ketika angin itu berhembus kearahnya.
           Perlahan Keisuke melangkahkan kakinya diatas gedung empat lantai itu. Keisuke menoleh ke sebelah kirinya dan dia menyadari bukan hanya dia satu-satunya yang ada disana. Ada seorang murid  laki-laki yang sedang membaca buku dengan tenangnya disana. Saat murid laki-laki itu menyadari kehadiran Keisuke, dia menoleh kearah Keisuke dan ternyata dia adalah seseorang yang bernana Koike. Koike pun tersenyum pada Keisuke. Entah kenapa senyuman Koike membuat Keisuke merasakan sesuatu yang berbeda terjadi dalam dirinya.
           “Koike senpai…..”, terdengar suara berbisik Keisuke saat memanggil nama orang itu.
           “Oi, Yamada. Apa yang kau lakukan disana?”, tanya Koike itu.
           “Hmmm…. Menenangkan diri”, jawab Keisuke. “Senpai sendiri sedang apa disini?”, Keisuke balik bertanya.
           “Mengisi waktu luang”, jawab Koike tenang.
           “Yamada, nanti kamu akan ke tempat kerjaku lagi?”, tanya Koike.
           “Sepertinya tidak senpai. Memangnya kenapa?”
           “Tidak. Aku hanya bertanya. Sudah seminggu terakhir ini kamu selalu datang kesana”, kata Koike.
           “Eh? Sudah seminggu ya?”, kata Keisuke yang tidak menyadarinya.
           “Kebetulan hari ini aku libur kerja dan rencananya aku mau ke toko buku sore ini. Kamu mau ikut?”, tanya Koike pada Keisuke.
           Keisuke kaget mendengar bahwa orang yang bernama Koike itu mengajaknya pergi bersama ke toko buku. Apa yang terjadi sesungguhnya? Keisuke merasa senang saat Koike mengajaknya pergi dan sesungguhnya dia sangat ingin pergi. Tapi, akhirnya Keisuke menolaknya.
           “Maaf Koike senpai, hari ini aku sudah ada acara”, kata Keisuke berbohong.
           “Sayang sekali ya”, kata Koike itu sambil tersenyum. “Kamu ada acara dengan pacarmu ya?”, kata Koike sambil tersenyum jahil.
           “Aku tidak punya pacar”, kata Keisuke dengan muka yang memerah.
           “Aku hanya bercanda”, kata Koike sambil berjalan kearah Keisuke.
           “Aku tahu kamu tidak punya pacar, Keisuke”, kata Koike berbisik ditelinga Keisuke dan segera saja ucapan Koike itu membuat Keisuke tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
           “Ada apa denganku? Kenapa aku menjadi seperti ini? Kenapa aku senang saat Koike senpai memanggil namaku?”, batin Keisuke.
           “Ah, iya. Jangan panggil aku Koike senpai lagi, panggil aku Ryu”, kata Koike itu sambil berjalan ke arah pintu keluar tempat itu.
           Keisuke menoleh kearah pintu itu dan perlahan sosok Koike Ryuta menghilang dari pandangan matanya. Hembusan angin menerpa tubuh Keisuke yang masih berdiri dan terdiam. Keisuke masih tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
           “Ryu….”
           “Kenapa dia menyuruhku memanggilnya Ryu? Aku kan tidak akrab dengannya. Aku juga tidak berteman dengannya.”, batin Keisuke.
          Dibalik semua keanehan yang terjadi hari itu, dari lubuk hatinya Keisuke merasa sangat senang. Dia ingin segera bertemu dengan sesosok murid kelas 3-1 SMA Seinen, Koike Ryuta. Karena kejadian tadi Keisuke merasa Ryuta orang yang menarik dan penuh misteri. Itulah yang membuat Keisuke ingin bisa mengobrol lebih banyak lagi dengannya. Seharian ini yang dipikirkan Keisuke hanyalah Ryuta dan Keisuke pun lupa kalau besok adalah ulang tahunnya.
           “Aku pulang”, kata Keichan saat membuka pintu rumahnya tapi tak seorangpun menjawab salamnya.
           Keisuke melepaskan sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu yang ada di dekat pintu masuk. Kamar Keisuke dan kedua kakaknya ada dilantai dua rumah itu. Untuk menuju kamarnya, Keisuke berjalan melewati ruang tamu dan kamar orang tuanya yang ada dilantai dasar sebelum dia mencapai tangga menuju ke kamarnya di lantai dua. Saat melewati ruang tamu dia melihat ibunya yang sepertinya sedang mengecek pengeluaran rumah tangga karena dimeja didepannya ada kertas-kertas nota, pulpen, kalkulator dan sebuah buku tulis.
           “Ibu, aku pulang”, kata Keisuke
           “Ah, Kei chan sudah pulang ya. Kamu sudah makan? Ibu masak Kare kesukaan Kei-chan”, kata ibunya.
           “Terima kasih bu. Aku mau ganti baju dulu”, kata Keisuke.
           Keisuke bergegas menuju kamarnya. Dia meletakkan tasnya diatas meja belajarnya lalu merebahkan dirinya yang masih menggunakan seragam sekolah ke tempat tidurnya. Sambil menatap langit-langit kamarnya Keisuke teringat kembali akan ketidakharmonisan keluarganya. Memikirkan hal itu membuat Keisuke sakit kepala. Dia pun meminum obat sakit kepala dan tidak lama kemudian Keisuke pun tertidur karena efek obat tersebut.
           “Keisuke, maafkan kami. Kami harus berpisah. Kami sudah tidak sejalan lagi”, kata Ayahnya didepan Keisuke, ibunya dan kakak perempuannya.
           “Apa? Kalian ingin bercerai?”, tanya Keisuke pada kedua orang tuanya.
           “Iya. Ibu sudah tidak tahan pada Ayahmu yang selalu marah-marah pada Ibu”, kata ibunya.
           “Tidak. Aku tidak ingin kalian berpisah”, kata Keisuke sambil menitikkan air mata.
           “Maaf Keisuke. Kami tidak bisa bersama lagi. Sekarang kamu harus memilih akan ikut ibu atau ikut ayahmu?”, tanya ibunya.
           “Tidak….”, teriak Keisuke.
           Keisuke pun terbangun dari tidurnya. Ternyata kejadian tadi hanya mimpi buruk. Dia berharap kejadian dalam mimpinya tadi tidak akan pernah terjadi. Keisuke duduk di tepi tempat tidurnya sambil menarik nafas panjang. Setelah sedikit tenang Keisuke pun pergi mandi.
          Setelah mandi dan berganti baju Keisuke bermaksud untuk makan karena perutnya sudah lapar. Namun ditengah perjalanan menuju ke dapur, Keisuke mendengar ayah dan ibunya sedang membicarakan sesuatu.
           “Ini. Silahkan kamu tanda tangani”, kata ayahnya pada ibunya sambil menyodorkan selembar kertas.
           “Bagaimana cara kita memberitahu anak-anak tentang hal ini?”, tanya ibunya pada ayahnya.
           “Biar aku yang bicara pada mereka”, kata ayahnya.
           Keisuke yang mendengar pembicaraan mereka pun membuka pintu ruang tamu dan menghampiri kedua orang tuanya.
           “Apa yang ingin ayah dan ibu beritahu pada kami?”, tanya Keisuke.
           Kedua orang tua Keisuke saling memandang satu sama lain. Mereka kaget kenapa Keisuke ada disana. Apakah Keisuke mendengar semua pembicaraan mereka. Kedua orang tuanya terdiam. Lalu Keisuke mengambil kertas yang tadi diserahkan ayahnya pada ibunya. Ternyata itu adalah surat cerai. Keisuke sangat marah lalu melempar kertas itu dan dia pergi meninggalkan orang tuanya.
           “Keisuke….. Tunggu…. Keisuke……”, kata ibunya.
           Keisuke tidak mempedulikan panggilan dari ibunya. Dia mengambil sepatunya dan segera keluar dari rumah. Keisuke tidak punya tujuan. Dia hanya ingin pergi dari rumah itu. Dia tidak ingin mimpinya tadi menjadi kenyataan. Keisuke hanya mengikuti kemana kakinya membawanya. Dia terus berlari hingga langkahnya terhenti di tepi sungai yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Dia berjalan kearah sebuah pohon besar ditepi sungai itu. Disekelilingnya hanya terdapat padang rumput yang terhampar luas dan sebuah sungai yang tidak terlalu lebar.
           Dia merebahkan badannya diatas rerumputan dan memandangi langit malam yang bercahaya. Keisuke merasa kalau ditempat itu lebih terang dari biasanya. Ternyata yang membuat tempat itu lebih terang dari biasanya adalah sinar bulan. Dia memandangi keindahan langit malam dan dia teringat akan mimpinya dan kejadian yang baru saja dia alami. Air mata Keisuke pun tak dapat tertahan lagi.
           “Kenapa mereka harus bercerai?”, gumam Keisuke dalam hatinya.
           Tak terasa Keisuke sudah berada ditempat itu lebih dari dua jam dengan memikirkan tentang perceraian kedua orang tuanya yang membuatnya sakit hati. Air matanya yang tadinya sudah tidak menetes lagi kini kembali menetes setelah Keisuke teringat kalau besok adalah hari ulang tahunnya. Dia mengambil kerikil-kerikil kecil disekitarnya lalu melemparnya ke sungai itu untuk menunpahkan kekesalannya. Saat dia melempar batu terakhir yang digenggamnya, tiba-tiba ada seseorang dari kejauhan yang sepertinya berbicara padanya.
           “Oi, apa yang kamu lakukan disana? Kamu mau bunuh diri ya?”, kata suara laki-laki itu.
           Keisuke pun menoleh kearah datangnya suara itu lalu berkata, “Apa?”.
           “Kamu mau bunuh diri ya?”, kata suara itu dan suaranya terdengar lebih dekat dari sebelumnya.
           “Eh? Keisuke?”, kata suara itu lagi. Dan sekarang terdengar langkah kaki yang menuju kearah Keisuke.
           “Ternyata benar Keisuke”, kata suara itu lagi.
           Keisuke terkejut melihat siapa yang saat ini sudah ada didekatnya. Koike Ryuta. Keisuke segera mengusap air matanya. Jangan sampai Ryuta tahu kalau Keisuke sedang menangis disana.
           “Senpai…”, kata Keisuke dengan suara yang bergetar.
           “Senpai? Kan sudah kubilang jangan panggil aku senpai. Panggil Ryu saja”
           “Maaf aku tidak bisa. Senpai kan senpai disekolah. Jadi aku akan tetap memanggilmu senpai”
           “Baiklah kalau itu maumu”, kata Ryuta dan dia pun duduk disebelah Keisuke.
           Suasana hati Keisuke yang tadinya suram kini berubah menjadi canggung karena Ryuta ada didekatnya. Keisuke menjadi semakin gugup karena Ryuta tersenyum kepadanya.
           “Sen…pai… sedang apa disini?”, tanya Keisuke gugup.
           “Harusnya aku yang menanyakan hal itu padamu. Aku baru pulang dari toko buku dan tempat tinggalku tidak jauh dari sini”, Ryuta menjelaskan.
           “Oh….”, kata Keisuke.
           “Kamu sendiri sedang apa disini? Kamu tidak ingin bunuh diri kan? Aku tidak ingin kalau nantinya kamu menjadi hantu penunggu pohon ini”, kata Ryuta sambil meledek Keisuke.
           “Tidak. Aku hanya ingin menenangkan diri saja”, kata Keisuke.
           “Keisuke…..”, kata Ryuta sambil menatap mata Keisuke.
           Keisuke merasa pandangan mata Ryuta akan membuatnya mati dalam beberapa detik.
           “Senpai tolong jangan menatapku seperti itu”.
           “Maaf. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kalau kamu ada masalah dan perlu teman untuk menceritakan masalahmu, kamu bisa menceritakannya padaku”
           “Aku tidak punya masalah apapun. Jadi senpai tidak usah khawatir”.
           “Baiklah kalau begitu”.
           Mereka pun terdiam beberapa saat sambil memandangi langit malam yang berhiaskan sinar bulan dan bintang yang indah.
           “Keisuke, malam ini katanya aka nada hujan meteor dan kemungkinan kita bisa melihatnya dari sini”, kata Ryuta memecahkan keheningan.
           Keisuke pun teringat akan artikel yang dibacanya di internet beberapa hari yang lalu. Hari ini tanggal 14 September.
           “Aku juga membacanya di internet beberapa hari yang lalu”, kata Keisuke.
           “Oh begitu. Mari kita tunggu. Apakah kita orang yang beruntung yang bisa melihatnya”, kata Ryuta.
           “Senpai, sekarang jam berapa?”, tanya Keisuke.
           Ryuta melihat arlojinya lalu menjawab, “Jam 11:58”.
           “Sebentar lagi jam dua belas malam. Apakah keluargaku masih ingat dengan ulang tahunku?”, gumam Keisuke dalam hati.
           “Keisuke, selamat ulang tahun”, kata Ryuta tiba-tiba.
           “Eh”, kata Keisuke kaget dan segera memalingkan wajahnya kearah Ryuta begitu mendengar Ryuta mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
           Namun, sebelum Keisuke sempat mengucapkan apapun, bibir Ryuta sudah menempel pada bibir Keisuke. Ryuta mencium Keisuke dihari ulang tahunnya.

          ************************************************************


Yoshi's Note:

Gomenasai...
Saking sibuknya Yoshi sampai lupa dengan proyek-proyek yang tertinggal....

Selamat menikmati bagian ini.....

Dewa, mata ne....
           

Sabtu, 25 Mei 2013

You Are My Sunshine 「Prolog」


           Awal bulan September, musim gugur. Panasnya udara musim pana masih terasa, namun hembusan angin musim gugur mulai terasa dikejauhan. Daun-daun pohon maple pun masih berwarna hijau. Liburan musim panas bagi anak-anak sekolah telah berakhir seminggu yang lalu dan kini saatnya kembali dalam rutinitas rutin disekolah, belajar. Keisuke berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke sekolah, tapi, alih-alih ke sekolah, dia malah mengayuh sepedanya kearah yang berlawanan dengan jalan ke sekolahnya. Dia tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Keisuke berhenti di tepi sungai yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dia memarkir sepedanya di pinggir jalan dan segera berjalan melintasi padang rumput yang cukup luas menuju ke sebuah pohon yang cukup besar yang tumbuh ditepi sungai. Keisuke meletakkan tas sekolahnya diatas rumput hijau dan menggunakannya sebagai bantal lalu dia merebahkan tubuhnya diatas hamparan rumput hijau yang tidak terlalu rimbun itu..
           Keisuke, seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun, murid tahun kedua SMA Seinen. Dia cukup tampan, postur tubuhnya tinggi namun tidak terlalu atletis. Rambutnya berwarna hitam dan selalu terlihat rapi walaupun tidak disisir. Matanya tidak sipit namun tidak terlalu besar dan dihiasi dengan bola mata berwaran hitam senada dengan warna rambutnya. Dia salah satu anak laki-laki populer di sekolahnya dan disukai oleh para gadis. Tapi entah kenapa hingga saat ini Keisuke tidak pernah memiliki kekasih. Dia selalu menolak para gadis yang menyatakan cinta padanya.
           Mata Keisuke menatap langit bulan September. Kejadian semalam kembali terlintas dibenaknya. Pertengkaran kedua orang tuanya. Keluarganya sudah tidak harmonis lagi. Setiap hari selalu saja terjadi pertengkaran karena hal-hal yang sepele. Kakak laki-lakinya pun pergi meninggalkan rumah sejak sebulan yang lalu karena sudah tidak tahan dengan pertengkaran kedua orang tuanya itu.
           “Seandainya nii san mengajakku ikut bersamanya, aku pasti tidak akan kesepian seperti ini”, kata Keisuke dalam hati.
           “Huft...”
           Hembusan angin yang sepoi-sepoi membuat Keisuke merasa ngantuk dan tak lama kemudian dia tertidur di bawah pohon itu. Hanya saat tidur saja Keisuke bisa melupakan sejenak tentang ketidakharmonisan keluarganya.
           Perlahan Keisuke membuka matanya. Matahari sudah sedikit condong ke barat. Dia melihat arlojinya dan ternyata sudah pukul dua siang. Keisuke mengusap-usap matanya sambil menguap.
           “Sudah jam dua. Ternyata aku tidur disini cukup lama. Aku masih belum ingin pulang”, kata Keisuke.
           Setelah berpikir beberapa saat, Keisuke akhirnya memutuskan untuk pergi ke internet cafe untuk membunuh kesepiannya. Saat ini memang ada game online baru yang ingin dia mainkan. Keisuke mengayuh sepedanya dengan santai. Internet cafe yang akan dia datangi hanya berjarak tiga blok dari rumahnya. Dia masuk ke dalam internet cafe yang bernama Daichi dan memilih untuk menggunakan komputer yang jaraknya paling jauh dari pintu masuk.
Keisuke asyik bermain game sampai lupa waktu hingga ponselnya berbunyi pertanda ada email masuk. Ternyata email dari teman sekelasnya Tomoko yang menanyakan kenapa Keisuke tidak masuk sekolah hari ini, namun Keisuke tidak membalas email itu. Saat dia selesai membaca email itu, Keisuke melirik arlojinya. Dia kaget, ternyata sudah pukul enam sore. Keisuke membereskan tasnya dan segera menuju kasir untuk membayar. Karyawan internet cafe itu bukanlah orang yang sama dengan pada saat Keisuke datang tadi. Kali ini karyawan yang ada di meja kasir itu seorang laki-laki muda yang tampan dengan postur tubuh yang tinggi dan cukup atletis dan kelihatannya laki-laki itu usianya tidak berbeda jauh dengan Keisuke. Dia mengeluarkan dompetnya dan membayarkan sejumlah uang pada laki-laki muda itu. Namun, belum sempat Keisuke memasukkan kembaliannya kedalam dompet ponselnya berbunyi dan dia meletakkan dompetnya begitu saja diatas meja. Ternyata it telepon dari ibunya yang menayakan keberadaannya saat ini. Karena terburu-buru Keisuke melupakan dompetnya. Karywan internet cafe itu baru menyadari jika Keisuke meninggalkan dompetnya setelah Keisuke pergi dari internet cafe itu.
“Yamada Keisuke, SMA Seinen”, laki-laki itu melihat kartu pelajar Keisuke yang ada di dalam dompetnya.
Laki-laki itu memasukkan dompet Keisuke kedalam plastik dan menempelinya dengan  tulisan “barang tamu yang tertinggal”lalu memasukkannya kedalam laci.
Keisuke yang terburu-buru itu tidak mengetahui jika sebuah kisah baru akan tercipta. Sebuah kisah yang akan mengubah kehidupannya dan membunuh rasa kesepian yang dia rasakan selama ini.





 Yoshi‘s Note
Kali ini Yoshi muncul dengan sesuatu yang berbeda. Jadi, selamat menikmati.......

Minggu, 28 April 2013

「ALBUM TANPA JUDUL」Album Kedua


          “Ohayou gozaimasu”
          Arini menoleh kearah datangnya suara itu dan alangkah terkejutnya Arini melihat pemilik suara itu. Dia adalah laki-laki itu, orang Jepang yang dia lihat saat dia pertama kali ke Sunset Magazine. Orang Jepang yang berkulit agak kecoklatan tingginya sekitar seratus tujuh puluhan centimeter, berambut pendek dan berwarna hitam dan diberi gel agar tampak  berdiri seperti bulu landak.
“Tada, ini Arini. Staff baru disini. Arini, ini Matsumoto Tadayoshi, dia fotografer freelance disini”, kata Akiko memperkenalkan Arini dengan laki-laki itu.
“Matsumoto desu. Yoroshiku onegaishimasu –saya Matsumoto. Mohon bantuannya”, kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya pada Arini yang segera berjabat tangan dengan laki-laki itu.
“Saya Arini. Mohon bantuannya, Matsumoto san”, balas Arini.
“Akiko, ini foto untuk cover Sunset Magazine untuk edisi bulan depan”, kata Tada pada Akiko.
“Oke. Terima kasih”, kata Akiko.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku ada pekerjaan di tempat lain hari ini”, kata Tada lagi.
“Ya, aku mengerti. Kamu kan memang orang sibuk. Hati-hati ya”, kata Akiko.
“Oke. Terima kasih”, jawab Tada dan kemudian dia berjalan meninggalkan ruangan Divisi Jepang dan menghilang dibalik pintu.
Arini masih tidak percaya dengan apa yang dialaminya tadi. Dia berjabat tangan dengan laki-laki itu yang ternyata adalah salah satu fotografer freelance di Sunset Magazine dan satu divisi dengan Arini.
“Apakah ini yang namanya takdir?”, sekilas terlintas kalimat itu dalam benak Arini. “Sudahlah. Yang jelas aku harus lebih fokus dengan pekerjaanku. Yosh, ganbare Arini”, katanya dalam hati.
Saat ini diruangan Divisi Jepang hanya ada Arini dan Akiko. Staff yang lainnya sedang mencari berita dan melakukan wawancara dengan narasumber untuk artikel Sunset Magazine edisi selanjutnya. Karyawan di Divisi Jepang Sunset Magazine hanya ada lima orang termasuk Akiko dan ditambah dengan Arini kini menjadi enam orang.
“Arini, ini konsep untuk artikel Sunset Magazine edisi berikutnya. Silahkan kamu pelajari dulu. Besok kita akan hunting-hunting foto untuk artikel ini”, kata Akiko sambil menyerahkan beberapa lembar kertas pada Arini. Tema untuk artikel edisi berikutnya yang harus dikerjakan oleh Arini dan Akiko adalah pernikahan dan konsep kali ini adalah Wedding in Paradise.
“Baiklah, Nakayama san”, jawab Arini.
Arini membaca dengan seksama kertas yang diberikan oleh Akiko. Dia ingin melakukan yang terbaik untuk pekerjaan pertamanya ini. Awalnya Arini mengalami kesulitan untuk mencerna apa yang tertulis di kertas tersebut, namun untunglah Akiko mau mengajari Arini. Penjelasan yang diberikan Akiko cukup mudah dimengerti, sehingga Arini tidak perlu waktu yang lama untuk memahaminya.
“Sudah jam dua belas lewat sepuluh menit. Arini, ayo istirahat dulu”, kata Akiko. “Saya mau ke kantin. Kamu mau ikut?”, tambah Akiko.
“Ah, iya, saya ikut”, jawab Arini.
Mereka berdua pun pergi untuk makan siang di kantin Sunset Magazine yang terletak di lantai satu. Sekarang ruangan Divisi Jepang Sunset Magazine pun kosong, tak ada seorang pun disana.
****
Jam dinding di ruangan Divisi Jepang Sunset Magazine sudah menunjukkan pukul lima sore lewat lima menit dan itu tandanya jam kerja pun telah berakhir. Semua hal yang diperlukan untuk hunting foto keesokan harinya sudah disiapkan oleh Arini dengan sebaik mungkin.
“Nakayama san, saya sudah menyiapkan semua yang diperlukan untuk besok sesuai dengan list. Silahkan dicek sekali lagi”, kata Arini pada Akiko.
Arigatou gozaimasu”, kata Akiko yang kemudian memeriksa apa yang telah disiapkan Arini. “Semuanya sudah lengkap. Terima kasih Arini. Kamu boleh pulang sekarang”, kata Akiko setelah ia selesai memeriksa benda-benda yang diperlukan untuk pekerjaan keesokan harinya.
“Terima kasih Nakayama san”, kata Arini dan dia segera membereskan mejanya lalu mengambil tasnya.
“Lho, Nakayama san tidak pulang?”, tanya Arini yang melihat Akiko masih mengerjakan sesuatu.
“Iya sebentar lagi. Kamu pulang saja duluan. Hari ini kamu ada kuliah kan?”
“Iya ada. Kalau begitu saya pulang duluan. Shitsurei shimasu - permisi.”
Arini pun meninggalkan Akiko sendirian di ruangan Divisi Jepang dan segera bergegas pulang karena Arini harus kuliah malam ini. Sesampainya di parkiran Arini bertemu dengan Tada yang terlihat baru saja memarkir mobilnya tak jauh dari tempat Arini memarkir motornya. Tada pun tersenyum pada Arini. Dan senyuman Tada itu membuat Arini merasa tak bisa menolak pesona Tada.
“Astaga, dia tersenyum”, kata Arini dalam hati dan tanpa sadar Arini pun ikut tersenyum membalas senyumam Tada.
Mereka tidak saling menyapa satu sama lain, dan Tada langsung menuju pintu masuk Sunset Magazine dan perlahan mulai menghilang dari pandangan Arini. Arini masih tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian yang baru saja dia alami.
“Pasti aku betah disini kalau ada cowok ganteng seperti Matsumoto san setiap hari”, pikir Arini.
****
“Arini”, tiba-tiba ada suara yang memanggil Arini saat dia akan menaiki tangga menuju lantai dua gedung timur kampusnya.
Telinga Arini sudah sangat akrab dengan suara yang baru saja memanggilnya. Suara itu milik Jun, teman sekelas Arini sekaligus sahabatnya sejak semester pertama Arini menjadi mahasiswi. Arini pun menoleh kearah laki-laki kurus itu. Jun tidak terlalu tinggi, tetapi tidak pendek juga. Kulitnya putih dan rambutnya berwarna coklat kehitaman senada dengan warna bola matanya. Jun pun berjalan menghampiri Arini yang telah menghentikan langkahnya karena menunggu Jun. Mereka berdua memang sangat akrab, sampai seringkali orang-orang mengira mereka adalah sepasang kekasih.
“Rin, gimana hari pertama kerjanya?”, tanya Jun yang sekarang berjalan bersama Arini di koridor lantai dua menuju kelas mereka.
“Syukurlah semuanya lancar”, jawab Arini sambil tersenyum.
“Sepertinya ada yang menarik nih?”, kata Jun lagi.
“Himitsu –rahasia”, kata Arini dengan senyum tersurat di bibirnya.
Kata “rahasia” yang terucap dari bibir Arini membuat Jun semakin penasaran akan apa yang terjadi di hari pertama Arini bekerja. Setelah meletakkan tas nya diatas bangku, Jun yang masih penasaran pun menghampiri Arini.
“Rin, ayo cerita. Pasti ada yang seru ya. Jangan buat aku penasaran.”
“Himitsu”, lagi-lagi Arini mengulangi.
“Ya sudahlah. Berhubung aku kakak yang baik, jadi aku tunggu deh sampai kamu mau cerita”, kata Jun menyerah membujuk Arini untuk bercerita.
“Lagi-lagi Jun pakai jurus itu. Iya, aku akan cerita”, kata Arini.
“Sudah ku duga, pasti berhasil”, kata Jun sambil tersenyum.
Arini sudah menganggap Jun seperti keluarganya sendiri, tepatnya seorang kakak. Meskipun mereka satu angkatan dan sekelas, tapi Jun berusia lebih tua satu tahun dari Arini. Dari awal Jun memang sudah menganggap Arini seperti adiknya sendiri dan Arini yang anak tunggal pun menerima tawaran Jun untuk menjadi kakaknya dengan senang hati. Jun merupakan tempat Arini berbagi segala keluh kesah maupun kebahagiaan.  Tidak ada hal yang ditutupi Arini dari Jun, begitu juga sebaliknya.
Saat Arini akan mulai menceritakan hari pertamanya bekerja, korti kelas mereka memberitahukan kalau dosen untuk mata kuliah jam pertama hari ini tidak dapat mengajar karena sedang sakit, lalu sebagai gantinya mereka harus mengerjakan tugas yang diberikan.
“Jun, nanti saja aku lanjutkan ceritanya. Sekarang kita kerjakan saja ini dulu”.
“Tentu saja ini yang harus didahulukan”.
Mata kuliah saat ini adalah terjemahan. Mereka mendapat tugas menerjemahkan beberapa paragraf cerita yang diambil dari sebuah novel berbahasa Jepang. Setelah sepuluh menit mengerjakan tugas itu, Arini memanggil Jun.
“Jun, kanji ini apa bacaannya ya? Hehehe…”, tanya Arini.
“Ah, kamu ini payah, sudah semester seperti sekarang tapi kanji semudah itu saja tidak bisa kamu baca”, jawab Jun.
“Yeee… Jangan galak gitu dong. Dasar Jun. Ya sudah aku tanya sama yang lain aja. Jun pelit”, kata Arini.
“Wew, ngambek. Adik manis jangan ngambek dong”, rayu Jun.
“Biarin. Pokoknya gak akan aku ceritakan tentang hari pertama kerjaku pada Jun”, kata Arini lagi.
Mata Arini kembali terarah pada foto copy teks yang ada di depan matanya lalu lanjut mengerjakan tugasnya dan tidak menghiraukan omongan Jun. Mereka berdua memang sering terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran karena hal-hal sederhana karena mereka berdua sama-sama keras kepala. Tapi pertengakaran mereka hanya akan berlangsung paling lama sepuluh menit.
“Jun…”, kata Arini
“Apa?”
“Aku menyerah yang bagian ini. Aku boleh liat punya Jun ya. Hehehe …”, kata Arini.
“Tuh kan, akhirnya tanya juga”, kata Jun sambil memberikan kertas jawabannya tugasnya yang sudah selesai pada Arini.
“Arigatou, Jun”
Tujuh menit kemudian Arini berhasil menyelesaikan tugasnya, meskipun dia mencontek beberapa kalimat pada Jun. Setelah mengumpulkan tugasnya, Arini dan Jun memutuskan untuk pergi ke kantin sekaligus melanjutkan cerita Arini yang tertunda.
Arini menceritakan yang dia alami hari ini pada Jun. Saat menceritakan tentang seorang laki-laki bernama Matsumoto Tadayoshi, Arini tidak bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. Dia sangat antusias saat menceritakan tentang Tada.
“Jangan jangan kamu jatuh cinta sama Matsumoto itu ya?”, kata Jun tersenyum.
“Ah, masa sih? Aku kan baru dua kali bertemu dengannya, jadi hal itu sepertinya tidak mungkin terjadi”, Arini menyanggah kata-kata Jun.
“Saaa…. Siapa yang tahu kan. Kata orang cinta itu bisa muncul kapan saja dan dimana saja”, kata Jun lagi.
“Jun sok tahu. Padahal Jun juga minus pengalaman kan. Menyatakan cinta sama cewek aja gak pernah”, sindir Arini.
“Wah, apa-apaan ini? Kenapa jadi aku yang diserang?”
“Sudah lupakan saja”, kata Arini yang saat ini senyumnya sudah memudar dari wajahnya.
***
Denpasar di pagi hari. Pukul sembilan kurang sepuluh menit, Arini sudah sampai di kantornya, Divisi Jepang Sunset Magazine. Hari ini untuk pertama kalinya Arini akan bekerja langsung dilapangan. Jadwal kerja hari ini adalah pemotretan untuk artikel Sunset Magazine dan wawancara dengan seorang make-up artist yang biasa menjadi perias pengantin di salah satu Wedding Organizer yang ada di Bali. Lokasi pemotretannya adalah di sebuah hotel yang sering menjadi pilihan orang Jepang untuk melangsungkan pernikahannya di Bali yang ada di daerah Nusa Dua.
“Arini, tolong bawa semua perlengkapan yang sudah disiapkan kemarin dan masukkan kedalam mobil. Lima menit lagi kita berangkat”, kata Akiko.
“Baik Nakayama san”
Setelah semuanya beres, Arini dan Akiko pun berangkat ke lokasi pemotretan. Perjalanan mereka sedikit terhambat karena sedang ada perbaikan jalan dan pembuatan lajur jalan yang baru. Akiko yang sedang menyetir pun sedikit menghela nafas.
“Huft. Setiap hari selalu saja macet. Kapan ya jalan ini selesai diperbaiki?”, kata Akiko.
“Menurut berita, selesainya tahun depan”, jawab Arini.
“Semoga saja cepat selesainya. Saya lelah kalau harus terjebak dalam kemacetan seperti ini setiap harinya”, keluh Akiko.
Arini mengangguk pertanda mengiyakan pernyataan Akiko. Selama sepuluh menit kendaraan mereka tidak bisa bergerak sama sekali. Lalu Akiko menyalakan musik di mobilnya untuk mengusir kepenatan di tengah kemacetan seperti itu.
“Fotografer untuk hari ini adalah Matsumoto san. Nanti kita akan bertemu di lokasi”, kata Akiko tiba-tiba.
“Baik”, jawab Arini singkat dan Arini merasa senang karena bisa bertemu lagi dengan Tada hari ini.
Lima puluh lima menit kemudian Akiko dan Arini sampai di hotel yang mereka tuju. Dari kejauhan mereka melihat mobil Tada sudah terpakir rapi di tempat parkir dan terlihat Tada yang baru keluar dari mobilnya. Akiko menyerahkan SIM nya pada satpam untuk ditukar dengan kartu tanda pengunjung, lalu Akiko segera mencari tempat untuk memarkir mobilnya. Kemudian Arini mengeluarkan tas dari mobil yang berisi recorder, beberapa buku catatan dan pulpen, daftar pertanyaan yang akan dipakai saat wawancara nanti dan perlangkapan lainnya. Lalu mereka berdua menghampiri Tada.
“Ohayou gozaimasu”, Akiko dan Arini menyapa Tada.
“Ohayou gozaimasu”, Tada yang sedang menyiapkan kameranya balas menyapa.
“Semuanya sudah siap?”, tanya Akiko pada Tada.
“Sudah”, jawab Tada sambil memasukkan beberapa lensa kamera, baterai, dan memory card ke dalam tas yang akan dibawanya saat pemotretan, lalu dia mengalungkan kameranya dilehernya dan menggantungkan kameranya yang satu lagi di bahunya dan menjinjing tasnya yang berisi lensa kemera.
Akiko berjalan duluan masuk kedalam hotel yang kemudian diikuti oleh Tada dan Arini berjalan paling belakang. Mereka tidak masuk ke hotel melalui lobi, tetapi melalui pintu samping. Koridor yang mereka lalui cukup panjang, dan akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan di ujung koridor. Didepan ruangan itu tertulis Flower Wedding Office. Akiko mengetuk pintu sambil mengatakan “Shitsurei itashimasu-permisi”.
“Hai”, terdengar jawaban dari dalam ruangan itu.
Akiko, Arini dan Tada kemudian masuk keruangan itu. Ruangan itu terlihat seperti ruangan kantor pada umumnya, dan di dekat pintu masuk ada satu set sofa dan sebuah meja kecil yang diperuntukkan bagi tamu, Ada seorang laki-laki yang merupakan supervisor in charge hari itu dan seorang staff wanita yang berusia sekitar awal tiga puluhan tahun. Keduanya adalah orang Jepang.
“Ohayou gozaimasu”, kata Akiko dan Tada bergantian.
“Ohayou gozaimasu, Nakayama san, Matsumoto san”, wanita itu balas menyapa dan kemudia laki-laki itu pun ikut menyapa.
“Murakami san, Tanaka san, perkenalkan, ini staff baru kami, namanya Arini”, Akiko memperkenalkan Arini pada kedua orang Jepang itu, yang wanita bernama Murakami dan yang laki-laki bernama Tanaka.
“Perkenalkan, saya Arini. Mohon bantuannya”
“Mohon bantuannya”.
“Nakayama san, Matsumoto san, mari kita langsung ke lokasi saja. Modelnya sudah siap. Setelah sesi pemotretan baru kita lakukan sesi wawancara dengan Takano, make up artist kami”, jelas Murakami pada Akiko.
“Baiklah”.
Mereka pun menuju ke lokasi pemotretan, yaitu sebuah taman yang ditengahya ada kolam ikan yang cukup luas dan diatas kolam itu ada sebuah jembatan kayu yang menghubungkan sisi kolam satu dengan sisi lainnya. Taman itu didominasi dengan pohon kamboja yang bunganya berwarna putih dan kekuningan.
 Tada kini telah bersiap-siap untuk melakukan pemotretan, modelnya pun sudah siap. Model wanita memakai baju pengantin berwarna putih yang elegan dan dihiasi dengan payet berwarna putih mengkilap. Sedangkan model laki-lakinya memakai setelan jas berwarna putih pula. Tada mulai mengarahkan model untuk berpose sesuai dengan yang dia inginkan. Saat sedang bekerja Tada terlihat sangat serius dan terkesan sangat tidak ramah. Senyum yang dilihat Arini di wajah Tada kemarin, saat ini sudah hilang dari wajahnya.
“Matsumoto san terlihat berbeda dari yang kemarin”, pikir Arini. “Tapi mungkin saja dia begitu hanya saat sedang bekerja”.
“Arini, ayo kita tunggu disebelah sana”, ajak Akiko.
“Eh?”, reaksi dari Arini.
“Sebelum Tada marah-marah kerena kita menghalanginya, jadi lebih baik kita tunggu disana saja. Di saat-saat seperti ini, Tada bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan kalau dia merasa terganggu”, kata Akiko lagi.
“Eh?”, kata Arini bingung.
“Sudah ikut saja”.
Arini mengikuti perintah Akiko dan mereka menunggu tak jauh dari kolam yang ada di taman itu. Arini masih tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Akiko tentang Tada.
Arini terus memperhatikan cara kerja Tada yang seorang fotografer professional. Dengan cekatan dia memotret modelnya dalam berbagai pose dan dengan latar pemandangan yang berbeda. Saat ini tada sedang meminta modelnya berpose di atas jembatan. Setelah memotret beberapa kali, tiba-tiba saja Tada berteriak pada Arini.
“Arini, jangan berdiri disana. Omae, jama –kamu mengganggu”, kata Tada dengan nada suara tinggi.
“Akiko, kamu juga, pindah dari sana”, kata Tada lagi.
Kata-kata Tada dengan nada tinggi itu membuat Arini terkejut.
“Apa?”, kata Arini dalam hati.
“Omae, jama”, kalimat itu terus terngiang di telinga Arini dan itu membuatnya kesal. Tada yang tadinya terlihat baik dimata Arini, kini nilai kebaikan Tada mulai berkurang satu poin dimata Arini.





Yoshi’s note:
Ohisashiburi…
Ternyata Album Tanpa Judul udah tiga bulan gak di update. Hahahhaa…
Maklum saja, penulis gaje. Oke tanpa basa basi lagi,
Terima kasih buat para pembaca yang sudah sudi membaca karya gaje ini.
Arigatou….. Mohon di tunggu Album selanjutnya ya
Ja, Yoshi deshita.