Perlahan fajar di ufuk timur mulai
terlihat yang dengan segera menggantikan bintang-bintang
yang tadinya bersinar dalam kegelapan langit malam. Cahayanya yang berwarna
orange terbias dilangit sehingga memancarkan keindahan di cakrawala. Hangat sinarnya
pun membuat makhluk hidup mulai terbagun dari tidurnya. Jika pagi tiba maka yang
pertama terdengar biasanya suara ayam berkokok, itu pun jika kita tinggal di pedesaan.
Tapi jika kita tinggal di kota padat penduduk seperti Denpasar, tentunya
mendengar suara kokokan ayam di pagi hari itu hal yang langka. Hal yang biasa
membangunkan kita dipagi hari adalah suara alarm, entah itu alarm hanpdhone
atau jam alarm konvensional. Pagi hari jalanan kota Denpasar masih sepi, namun
seiring beranjaknya sang surya dari peraduannya, perlahan jalanan kota Denpasar
yang tadinya sunyi menjadi padat akan kendaraan para warganya yang siap memulai
aktivitasnya.
“Rin, ayo bangun. Sudah siang”,
tedengar suara lembut seorang wanita sambil mengetuk pintu kamarnya
sehingga membuat Arini terbangun dari
tidurnya. Tangan kanannya perlahan meraih meja yang ada disebelah tempat
tidurnya lalu mencari dimana dia meletakkan telepon genggamnya. Arini terkejut
dan langsung bangun dari tempat tidurnya saat melihat layar telepon genggamnya.
Jam tujuh lewat sepuluh menit. Ternyata malam sebelumnya Arini lupa menyalakan
alarm sehingga membuatnya bangun kesiangan.
“Astaga, aku kesiangan”, Arini langsung
lompat dari tempat tidurnya lalu meraih handuk yang tergantung di belakang
pintu kamarnya dan bergegas ke kamar mandi.
Arini, itulah nama gadis itu. Seorang
gadis Bali yang terlahir dalam sebuah keluarga sederhana di kota Denpasar.
Sebulan yang lalu usianya genap dua puluh dua tahun dan sekarang dia adalah
seorang mahasiswa jurusan Sastra Jepang disalah satu universitas di kota
Denpasar. Arini tidaklah terlalu cantik tetapi dia seorang gadis manis yang
ceria dan keceriaannya itu merupakan kelebihan Arini dibandingkan gadis-gadis
lainnya. Tinggi badannya hanya seratus lima puluh delapan centimeter, kulitnya
yang berwarna kuning langsat dan panjang rambutnya hanya sebahu. Matanya agak
sipit padahal dia sama sekali bukan keturunan Cina. Dari matanya itu selalu
terpancar keceriaan seakan Arini jauh dari berbagai permasalahan. Arini akan
terlihat lebih manis lagi jika sedang tersenyum dan saat itulah lesung pipinya
akan terlihat jelas. Untuk gadis-gadis seusianya make up adalah sebuah
kebutuhan tapi tidak untuk Arini, dia lebih suka dengan hal-hal yang bersifat
alami.
Hari ini merupakan hari yang penting
untuk Arini dan dia tidak seharusnya terlambat pada saat-saat seperti ini. Interview
pekerjaan. Arini mandi secepat mungkin dan menyiapkan semua yang dia perlukan
dengan cepat juga. Pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, Arini siap
berangkat ke kantor sebuah majalah yang ada di kota Denpasar dimana Arini
mengirimkan lamaran pekerjaannya..
“Ibu, Arini berangkat dulu”, kata Arini
sambil mencium tangan ibunya.
“Lho? Sarapan paginya Rin?”, tanya ibunya yang melihat anaknya tergesa-gesa.
“Lho? Sarapan paginya Rin?”, tanya ibunya yang melihat anaknya tergesa-gesa.
“Arini gak sarapan hari ini. Arini
sudah telat Bu”, jawab Arini.
Arini mengendarai motor maticnya
menyusuri jalanan kota Denpasar. Untung saja jalanan hari ini belum macet.
Dalam perjalanan terbayang berbagai macam pertanyaan di kepala Arini yang
mungkin saja akan ditanyakan oleh orang yang akan mewawancarainya hari itu dan bagaimana
jika dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu
nantinya? Padahal Arini sangat menginginkan pekerjaan itu.
Setelah dua puluh menit menyusuri
jalanan kota Denpasar, akhirnya Arini sampai juga di tempat tujuannya, kantor Sunset
Magazine. Arini melirik jam tangannya dan ternyata dia tidak terlambat dan
Arini masih punya waktu selama sepuluh menit. Dengan segera Arini masuk ke
dalam bangunan berlantai empat itu. Bagian dalam bangunan itu di cat berwarna
putih dan tekesan minimalis. Di lobi terdapat sebuah meja respsionis dan di
dinding sekitar lobinya terpajang beberapa cover Sunset Magazine yang telah
terbit yang dibingkai dengan apiknya. Segera saja Arini menuju ke meja
resepsionis dan menanyakan dimana letak ruang personalianya.
“Permisi Mbak, saya Arini yang akan
interview hari ini. Saya ingin bertemu dengan Pak Wayan Artana manager personalianya. Apakah Pak Wayan Artananya ada?”, tanya Arini dengan sopan.
“Tunggu sebentar ya Mbak Arini”, kata
resepsionis itu dengan ramah dan dia segera menelepon untuk memastikan apakah
orang yang dicari Arini ada di kantor atau
tidak.
Resepsionis itu menutup teleponnya dan
terlihat siap memberi informasi pada Arini. Namun sebelum sempat berkata
apapun, tiba-tiba ada seorang pria yang menyerobotnya. Sekilas wajahnya tampan
dan sepertinya dia orang Jepang. Tinggi laki-laki itu paling tidak seratus
tujuh puluhan centimeter. Rambutnya pendek , berwarna hitam dan diberi gel agar
tampak berdiri seperti bulu landak. Tapi
kulitnya tidak seputih orang Jepang pada umumnya. Mungkin saja karena dia sudah
lama di Bali sehingga kulitnya berubah menjadi kecoklatan karena iklim di Bali
yang cukup panas. Laki-laki itu terkesan cool dan sepertinya baik hati. Arini
secara tidak langsung terpesona pada penampilan laki-laki. Arini pun terdiam
sejenak dan terus memperhatikannya dan tak dapat dipungkiri hal itu membawa
Arini sedikit terhanyut dalam lamunan.
“Kalau setiap hari ketemu cowok ganteng seperti itu, aku pasti betah kerja disini”, kata Arini dalam hati dan pandangan matanya masih terarah ke laki-laki itu yang kini sudah ada di depan pintu dan siap keluar dari gedung itu.
“Kalau setiap hari ketemu cowok ganteng seperti itu, aku pasti betah kerja disini”, kata Arini dalam hati dan pandangan matanya masih terarah ke laki-laki itu yang kini sudah ada di depan pintu dan siap keluar dari gedung itu.
“Mbak Arini…. Mbak Arini”, Arini
mendengar suara resepsionis itu dan seketika lamunan Arini buyar.
“Eh”, hanya kata itu yg keluar dari
mulut Arini saat itu.
“Mbak Arini, silahkan naik ke lantai
tiga, ruang personalianya ada tepat didepan lift. Liftnya ada
disebelah sana”, kata resepsionis itu sambil menunjuk kearah lift.
“Maaf Mbak, kalau tangganya disebelah mana ya?”, tanya Arini
“Maaf Mbak, kalau tangganya disebelah mana ya?”, tanya Arini
“Oh, kalau tangganya ada disebelah sana
Mbak”, jawab resepsionis itu ramah sambil menunjukkan dimana tangganya.
“Terima kasih Mbak”
Arini lebih memilih menggunakan tangga. Lalu Arini segera menuju kearah yang ditunjukkan oleh resepsionis itu dan perlahan Arini menaiki satu persatu anak tangga itu menuju ke lantai empat dan hal itu membuat tenaganya cukup terkuras. Arini lebih memilih naik tangga karena menurutnya lebih aman daripada kalau naik lift. Arini bisa dibilang mengalami sedikit trauma dengan lift karena dulu saat sedang magang di hotel, Arini terjebak didalam lift sendirian selama lima belas menit. Sejak saat itulah Arini tidak pernah lagi naik lift.
Arini lebih memilih menggunakan tangga. Lalu Arini segera menuju kearah yang ditunjukkan oleh resepsionis itu dan perlahan Arini menaiki satu persatu anak tangga itu menuju ke lantai empat dan hal itu membuat tenaganya cukup terkuras. Arini lebih memilih naik tangga karena menurutnya lebih aman daripada kalau naik lift. Arini bisa dibilang mengalami sedikit trauma dengan lift karena dulu saat sedang magang di hotel, Arini terjebak didalam lift sendirian selama lima belas menit. Sejak saat itulah Arini tidak pernah lagi naik lift.
Arini sampai di lantai tiga gedung itu, dan segera dia mencari
ruangan personalianya. Ruang personalianya ada tepat di depan lift
seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi.
“Permisi”, kata Arini sambil mengetuk
pintu ruangan itu.
“Ya, silahkan”, terdengar jawaban dari
dalam ruang persoalia Sunset Magazine.
Arini pun masuk ke ruangan itu dan
dilihatnya seorang laki-laki berkaca mata duduk dibelakang meja di ujung
ruangan itu. Sepertinya usia laki-laki itu sekitar tiga puluhan tahun, tubuhnya
tidak terlalu gemuk dan sepertinya tidak terlalu tinggi juga. Dia berpakaian
rapi seperti layaknya seorang pegawai kantoran.
“Selamat pagi Pak. Saya mau bertemu
dengan Pak Wayan Artana manager personalianya.
Saya Arini yang akan interview hari ini”, kata Arini menjelaskan tujuannya
datang ke Sunset Magazine pada laki-laki berkaca mata itu.
“Oh, iya, silahkan duduk Arini. Saya
Wayan Artana, manager personalia Sunset Magazine”,
jelas laki-laki itu.
Arini pun duduk di kursi yang ada
tepat didepan meja manager personalia Sunset Magazine. Arini sangat gugup.
“Tenang Arini,
santai..”, kata Arini dalam hatinya.
Namun alih-alih
menjadi tenang, Arini malah menjadi semakin gugup. Tangannya yang tadinya
kering kini menjadi lembab karena keringat dinginnya. Wajah Arini pun terlihat
menjadi sedikit pucat dan Pak Wayan menyadari itu.
“Arini, tidak usah
gugup seperti itu. Saya tidak makan orang kok”, kata Pak Wayan dan Arini hanya
tersenyum mendengar perkataan Pak Wayan itu.
“Saya sudah
membaca CV mu, sekarang kamu masih menjadi seorang mahasiswa di jurusan Bahasa
Jepang kan? Lalu, kenapa kamu ingin bekerja di perusahaan kami?”, tanya Pak
Wayan.
“Saya ingin menerapkan ilmu yang saya dapat dikampus karena Sunset Magazine memiliki rubrik khusus berbahasa Jepang”, jawab Arini singkat.
“Saya ingin menerapkan ilmu yang saya dapat dikampus karena Sunset Magazine memiliki rubrik khusus berbahasa Jepang”, jawab Arini singkat.
Pak Wayan tersenyum mendengar jawaban Arini. Kemudian dia
melanjutkan memberikan beberapa pertanyaan lagi pada Arini dan Arini mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cukup baik, walaupun dia masih
tetap gugup.
“Oke. Cukup”, kata Pak Wayan. “Menurut saya jawabanmu
cukup memuaskan”, tambah Pak Wayan lagi.
“Terima kasih, Pak. Saya hanya menjawab apa adanya”,
jawab Arini.
“Nanti kami akan menghubungimu untuk memberitahukan
apakah kamu diterima bekerja diperusahaan kami atau tidak. Terima kasih atas
kedatangannya hari ini”, kata Pak Wayan.
“Baik Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat pagi”,
kata Arini dan kemudian dia keluar dari ruangan personalia Sunset Magazine.
Rasa gugup Arini pun perlahan mulai menghilang setelah
dia menyelesaikan interviewnya. Namun, rasa cemas masih tertinggal,
apakah nantinya dia akan diterima bekerja di Sunset Magazine atau tidak. Tapi,
sudahlah. Arini sudah berusaha sebaik mungkin tadi dan pasti hasilnya akan baik
untuk Arini nantinya. Arini selalu berusaha berpikir optimis dalam hidupnya.
***
Dua hari berselang sejak Arini melakukan interview di
Sunset Magazine. Dan pagi itu sekitar pukul sepuluh pagi, telepon genggam Arini
pun berbunyi. Ternyata itu telepon dari Sunset Magazine. Tangan Arini sedikit
bergetar saat akan mengankat telepon itu. Apakah Arini diterima bekerja atau
tidak? Arini menjawab teleponnya dengan perasaan gugup.
“Selamat pagi”, kata Arini menjawab telepon dengan suara
sedikit bergetar karena gugup.
“Selamat pagi. Saya Lina dari Sunset Magazine. Bisa saya
bicara dengan Mbak Arini?”, kata yang menelepon.
“Iya saya sendiri”, jawab Arini.
“Mbak Arini, saya ingin memberitahukan kalau Mbak Arini
diterima bekerja di perusahaan kami”, kata pegawai Sunset Magazine itu.
Arini terdiam mendengar kabar menyenangkan itu. Sesaat Arini
tidak bisa berkata apapun karena senangnya.Akhirnya Arini bisa bekerja di
Sunset Magazine.
“Mbak Arini?”, kata pegawai Sunset Magazine yang menunggu
respon dari Arini.
“Eh? Iya Mbak’, jawab Arini.
“Mbak Arini silahkan datang ke perusahaan kami besok pagi
pukul sembilan. Pak Wayan Artana akan menjelaskan semuanya pada Mbak Arini”.
“Baik Mbak. Terima kasih”.
“Selamat pagi”, kata pegawai Sunset Magazine yang
kemudian menutup teleponnya.
Senyum kebahagian tersurat dibibir Arini. Dengan segera
dia memberitahukan kabar gembira ini pada ibunya yang sedang menonton sinetron
di ruang tamu. Ibunya pun sangat gembira mendengarnya dan dia mengucapkan
selamat pada Arini. Mulai sekarang Arini akan memasuki dunia kerja dan dia
harus mempersiapkan semuanya dengan baik agar tidak mengecewakan nantinya.
***
Keesokan harinya, Arini sudah tiba di Sunset Magazine
pukul delapan lebih empat puluh menit. Arini menunggu di ruang tunggu yang ada
di depan ruang personalia karena Pak Wayan Artana masih ada rapat dengan para
staff dibagian personalia. Rona bahagia tak hentinya tersurat di wajah Arini
karena dia diterima bekerja. Arini pun mulai membayangkan seperti apa
pekerjaannya, rekan kerjanya, dan banyak hal lain yang terlintas dibenak Arini.
Sepuluh menit kemudian Pak Wayan pun menemui Arini di
ruang tunggu. Hari ini pun Pak Wayan terlihat rapi seperti sebelumnya. Pak
Wayan membawa beberapa dokumen ditangannya serta buku kecil yang sepertinya
buku catatan pribadinya.
“Selamat pagi Arini”, sapa Pak Wayan ramah.
“Selamat pagi pak”, jawab Arini.
“Selamat bergabung di perusahaan kami. Hari ini saya akan
menjelaskan beberapa hal”, tambah Pak Wayan dan Arini pun mengangguk pertanda
dia menyetujui pernyataan Pak Wayan.
“Untuk satu bulan pertama kamu masih berstatus sebagai
karyawan magang. Jika kinerja kamu bagus, kamu akan menjadi karyawan tetap
perusahaan kami. Jadi manfaatkanlah waktu selama satu bulan ini dengan baik
ya”, jelas Pak Wayan pada Arini.
“Terima kasih Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin”, kata
Arini dan saat itu juga dia berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan
berusaha sebaik mungkin.
“Arini, kamu akan saya tempatkan dibagian peliputan berbahasa
Jepang dan selama satu bulan ini kamu akan menjadi asisten Ibu Nakayama”, jelas
Pak Wayan lagi.
“Baiklah, sekarang saya akan mengantar kamu ke bagian
peliputan berbahasa Jepang. Kami biasa menyebutnya Divisi Jepang”.
“Terima kasih Pak”.
Pak Wayan mengantar Arini ke Divisi Jepang sambil
menjelaskan sedikit tentang Sunset Magazine. Mulai dari berdirinya perusahaan
itu hingga perkembangannya saat ini. Bisa diterima bekerja di Sunset Magazine
merupakan suatu kebanggaan bagi Arini dan rona bahagia tersurat jelas di wajah
Arini. Akhirnya, mereka sampai di Divisi Jepang.
“Selamat pagi
Nakayama san”, kata Pak Wayan pada seorang wanita Jepang yang berada didepan
mesin foto copy yang ada disalah satu sudut ruangan tersebut yang
tampaknya sedang memfoto copy beberapa lembar dokumen.
“Selamat pagi Pak Wayan”, kata ibu Nakayama membalas
sapaan Pak Wayan dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.
Nakayama san, begitulah biasanya wanita itu dipanggil. Dia
adalah orang Jepang yang merupakan pimpinan Divisi Peliputan Berbahasa Jepang
di Sunset Magazine. Perawakannya kurus dan lebih tinggi beberapa sentimeter
dari Arini. Usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan, kulitnya putih dan
rambutnya yang panjang berwarna kecoklatan membuatnya terlihat seperti orang
jepang pada umumnya. Penampilannya terlihat santai, dia memakai celana panjang
dan kemeja berwarna biru pagi itu.
“Nakayama san, ini Arini yang akan bekerja disini mulai
besok”, kata pak Wayan memperkenalkan Arini pada Nakayama san.
“Arini to moushimasu. Douzo yoroshiku onegai
itashimasu (Saya Arini. Mohon bantuannya) ”, kata Arini memperkenalkan diri
dalam bahasa Jepang.
“Nakayama desu. Kochira koso yoroshiku onegaishimasu”,
Nakayama san membalas salam perkenalan Arini.
“Kalau begitu, Arini, saya tinggal dulu. Nanti Nakayama
san akan menjelaskan tugas-tugasmu”, kata Pak Wayan pada Arini.
“Baik Pak”, jawab Arini.
“Baik Pak”, jawab Arini.
Saat Pak Wayan meninggalkan ruangan Divisi Jepang,
tiba-tiba dari belakang Arini terdengar suara laki-laki yang mengucapkan salam.
“Ohayou gozaimasu”
Nakayama san pun membalas salam laki-laki itu, “Ohayou
gozaimasu”.
Arini menoleh kearah datangnya suara laki-laki tersebut
dan Arini pun terkejut. Ternyata yang mengucapkan salam “Selamat Pagi” dalam
bahasa Jepang itu adalah laki-laki yang dia lihat di lobi Sunset Magazine pada
hari Arini melakukan interview beberapa hari yang lalu.
Yoshi’s
note.
Atarashii
sakuhin desu. Ditengah kegalauan skripsi Yoshi kembali dengan sesuatu
yang
baru. Meskipun pasti masih gaje seperti sebelum-sebelumnya.
Buat
semua yang sudah meluangkan waktunya untuk baca karya gaje ini, Yoshi
ucapkan
terima kasih...
Ja, sampai jumpa di Album Kedua....
Yoshi deshita.