Rabu, 29 Februari 2012

[Tema 17] Selamat Tinggal

Yuna berkali-kali melirik jam tangannya sambil sesekali dia mengintip dari jendela ruang tamu dirumahnya untuk memastikan apakah Ryo sudah datang menjemputnya atau belum. Hari ini Yuna dan Ryo berjanji akan pergi ke pasar malam yang tak jauh dari rumah mereka bersama-sama. Sekarang sudah pukul tujuh malam lewat lima belas menit, sedangkan Ryo berjanji menjemput Yuna pukul tujuh malam.
            Ryo dan Yuna menjadi sahabat sejak mereka duduk di bangku kelas dua SMP. Saat itu Ryo yang berasal dari luar kota pindah ke sebelah rumah Yuna. Sampai SMA mereka bersekolah di sekolah yang sama walaupun beda kelas. Namun, akhir-akhir ini mereka jarang bertemu karena sibuk dengan urusan masing-masing dan terlebih lagi sekarang mereka kuliah di universitas yang berbeda.
            Yuna kembali melirik jam tangannya sudah jam tujuh tiga puluh malam. Tak lama kemudian, terdengar suara Ryo memanggil.
            “Yuna…”
            “Kamu terlambat tiga puluh menit. Dasar lelet”, kata Yuna pada Ryo setelah dia membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
            “Maaf. Aku baru pulang dari kampus ada hal yang harus aku selesaikan. Sebagai permintaan maaf, ini coklat untukmu”.
            “Jangan pikir dengan coklat ini aku memaafkanmu begitu saja”, kata Yuna.
            “Masalah itu kita bahas nanti saja. Ayo cepat kita berangkat”, kata Ryo sambil menarik tangan Yuna.
            Mereka pergi ke pasar malam dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan Ryo menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Yuna malam ini.
“Eh, Yun”, kata Ryo memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Tumben rambutmu kamu gerai? Trus pakai anting dan lipgloss segala”, kata Ryo dan kata-katanya itu berhasil membuat wajah Yuna menjadi memerah mendengar kata-kata Ryo.
Yuna mempercepat langkah kakinya agar dia bisa menjaga jarak dengan Ryo dan agar Ryo tidak menyadari kalau wajahnya memerah.
“Tunggu dong Yun, jangan jalan cepat-cepat begitu”, kata Ryo.
“Kalau tidak cepat nanti kita hanya bisa main sebentar”, kata Yuna.
Yuna kembali mempercepat langkah kakinya. Namun, kerena tidak hati-hati dan kurang memperhatikan jalan akhirnya Yuna tersandung dan jatuh.
“Aduh…”
“Kamu tidak apa-apa Yun?”, tanya Ryo sambil mengulurkan tanggannya untuk membantu Yuna berdiri.
“Tidak apa-apa kok”, kata Yuna sambil menerima uluran tangan Ryo dan dia pun berdiri kembali.
“Wajahmu sepertinya agak memerah ya”, kata Ryo mendadak.
“Eh”, hanya kata itu yang terucap dari bibir Yuna yang membuatnya semakin merasa malu.
“Ternyata kamu cantik juga ya kalau tersipu malu seperti itu”, kata Ryo dan itu membuat jantung Yuna seperti berhenti berdetak selama beberapa detik.
Yuna hanya terpaku diam setelah mendengar kata-kata Ryo sementara Ryo sudah berjalan beberapa langkah mendahului Yuna.
“Yun, ayo cepat”, panggil Ryo dan Yuna pun tersadar dari diamnya dan berjalan menyusul Ryo.
Akhirnya mereka sampai di pasar malam dalam dua puluh menit. Malam ini tidak terlalu ramai mungkin karena hari ini hari Selasa dan Yuna merasa sangat senang. Terakhir kali dia pergi ke pasar malam saat masih duduk di kelas dua SMA dan saat itu dia juga pergi bersama Ryo.
            “Ryo, aku mau naik bianglala. Ayo”, kata Yuna menarik tangan Ryo dan Ryo hanya menurut kemana Yuna membawanya.
            Setelah membeli tiketnya, mereka berdua harus bersabar menunggu giliran mereka untuk naik.
            “Untung saja malam ini cerah ya”, kata Ryo pada Yuna.
            “Iya”, kata Yuna sambil menganggukkan kepalanya.
            Setelah menunggu beberapa saat akhirnya tibalah giliran mereka berdua. Karena ukuran bianglalanya tidak terlalu besar maka setiap bianglala hanya dinaiki oleh dua orang dewasa saja. Perlahan-lahan bianglalanya mulai berjalan. Satu, dua, tiga, dan sekarang sudah putaran keempat. Satu putaran lagi giliran mereka akan berakhir.
            “Wah, satu putaran lagi ya”, kata Yuna.
            “Iya. Kamu mau main apa setelah ini?”, tanya Ryo.
            “Apa ya?”
            Belum sempat Yuna menjawab, tiba-tiba saja bianglalanya berhenti berputar. Ternyata terjadi kesalahan teknis pada mesin bianglala tersebut dan saat ini Yuna dan Ryo sedang berada di bagian atas.
            “Ryo, bagaimana ini? Sampai berapa lama kita akan berada diatas sini?”.
            “Entahlah. Kita tunggu saja. Kamu takut?”
            “Sedikit”
            “Kalau begitu kamu dengar lagu ini saja ya”, kata Ryo sambil mencari-cari sesuatu dalam saku celananya.
            Ryo mengeluarkan ponsel dan earphonenya. Dia memutar lagu kesukaan Yuna dan memasangkan earphonenya ke telinga Yuna.
            “Terima kasih”, kata Yuna tersenyum.
            Langit malam yang bertaburan bintang dan bulan sabit yang cantik menemani mereka saat terjebak dalam bianglala. Sudah lima menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kalau bianglalanya sudah normal kembali.
            “Yuna, aku suka kamu”, kata Ryo namun Yuna tidak bisa mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Ryo karena volume music player di ponsel Ryo cukup keras.
            Melihat bibir Ryo yang bergerak seperti mengatakan sesuatu, Yuna membuka earphonenya karena dia sama sekali tidak mendengar apapun selain lagu dari ponsel Ryo.
            “Ryo, tadi sepertinya kamu mengatakan sesuatu”, kata Yuna.
            “Ah, gak kok”, kata Ryo dengan senyum hangatnya seperti biasa.
            Beberapa saat kemudian akhirnya bianglala tersebut kembali normal. Yuna dan Ryo pun melanjutkan dengan permainan yang lain. Ryo senang melihat Yuna yang bisa tersenyum ceria malam ini karena sudah lama Ryo tidak melihat Yuna seceria malam ini.
            “Eh, sudah jam sebelas”, kata Yuna setelah melihat jam tangannya.
            “Iyakah? Gak terasa ya”, kata Ryo.
            “Iya. Kalau begitu ayo kita pulang saja”, ajak Yuna.
            Ryo mengantar Yuna sampai pintu depan rumahnya.
            “Ryo, kamu mau mampir dulu?”, tanya Yuna.
            “Tidak usah. Besok saja aku kesini lagi”, jawab Ryo.
            “Terima kasih ya untuk selama ini. Entah kapan aku bisa main lagi bareng Ryo”, kata Yuna dan kata-kata Yuna membuat perasaan aneh timbul di hati Ryo, seperti kata-kata perpisahan dari Yuna.
            “Besok juga kita bisa main lagi kok. Aku pulang dulu”, kata Ryo.
            “Sampai jumpa, Ryo”, kata Yuna sambil melambaikan tangannya.
*****
            “Ryo, ayo bangun”, ibunya membangunkannya.
            “Kenapa Ma? Masih pagi juga. Ryo kan kuliahnya jam sebelas”, kata Ryo dengan nada suara malas.
            “Cepat bangun. Yuna masuk rumah sakit”, kata ibunya.
            Dan segera saja Ryo bangun dari tempat tidurnya. Tanpa mandi terlebih dahulu dia mengganti pakaiannya dan segera menuju ke rumah sakit tempat Yuna dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Ryo bertemu dengan ayah dan ibu Yuna. Saat ini Yuna masih berada di ruang ICU.
            “Tante, apa yang terjadi? Yuna kenapa?”, tanya Ryo.
            “Tadi pagi Yuna tiba-tiba saja pingsan dikamar mandi”, kata ibu Yuna pada Ryo.
            “Pingsan? Maksudnya tante?”, tanya Ryo.
            “Sebenarnya sejak delapan bulan yang lalu dokter mendiagnosa Yuna terkena tumor otak. Dan dokter mengatakan sisa hidup Yuna tidak lama lagi. Sebenarnya Yuna sudah sering keluar masuk rumah sakit seperti ini. Tapi sejak beberapa hari yang lalu kondisinya semakin memburuk”, kata ibu Yuna.
            “Tumor otak? Kenapa Yuna tidak pernah cerita pada Ryo? Kenapa tante?”, tanya Ryo.
            “Yuna melarang tante bercerita pada kamu. Katanya takut akan membuat Ryo sedih. Yuna ingin agar saat di dekat Ryo, Ryo bisa selalu tersenyum untuknya. Di hari-hari terkahirnya”.
            “Yuna…”
            Ryo sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Kenapa sahabatnya tidak menceritakan hal seperti ini kepadanya. Dan kenapa disaat sahabatnya membutuhkannya dia tidak bisa membantunya. Ryo merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri dan pada Yuna.
            Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruang ICU dan membawa berita bahwa Yuna tidak bisa diselamatkan lagi. Ryo, kedua orang tua Yuna tidak mampu menahan air mata mereka dan Ryo lah yang merasa paling terpuruk. Kemarin malam dia masih bisa melihat senyuman sahabatnya tapi sekarang, sahabatnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
*****
            Satu bulan telah berlalu sejak kematian Yuna. Perlahan-lahan orang-orang yang mencintai Yuna akhirnya rela melepaskan kepergian Yuna. Namun, kenangan Yuna akan selalu ada di hati mereka.
            “Permisi”
            “Iya”, kata Ryo membuka pintu rumahnya.
            “Ini ada paket untuk saudara Ryo”, kata petugas pengantar paket.
            “Paket?”
            “Silahkan tanda tangan disini”, kata petugas itu dan Ryo pun menandatangani bukti terima paket itu.
            “Terima kasih”, kata petugasnya dan segera meninggalkan rumah Ryo.
            Ryo kaget saat membuka paket itu. Isinya CD lagu dari penyanyi kesukaan Ryo yang dirilis satu bulan yang lalu. Ryo tidak sempat membelinya karena dia masih bersedih setelah kepergian sahabatnya untuk selamanya. Bersama CD itu ada selembar surat untuk Ryo.
Untuk sahabatku, Ryo
Maaf, selama ini aku tidak cerita apapun pada Ryo. Aku tidak ingin Ryo ikut bersedih karena penyakitku. Aku ingin disaat-saat terakhirku bisa bermain dengan gembira bersama Ryo dan aku bisa melihat Ryo tersenyum untukku. Aku tahu waktuku sudah tidak lama lagi, jadi aku memutuskan untuk mengajak Ryo pergi ke pasar malam hari ini. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya aku bisa melihat senyum Ryo.
Mungkin saat membaca ini aku sudah pergi jauh.
Jangan bersedih lagi ya. Berbahagialah untukku.
Selamat tinggal Ryo dan semua kenangan indah yang Ryo berikan untukku.
Terima kasih untuk semuanya, terima kasih sudah ada di sisiku selama ini.
Oh iya satu lagi, selamat mendengarkan CDnya. Aku yakin Ryo pasti belum membelinya.
Dari Yuna
            “Terima kasih Yuna. Aku senang karena bisa menjadi sahabatmu”, kata Ryo dalam hatinya dan Ryo tidak mampu lagi menahan air matanya.

Senin, 20 Februari 2012

[Tema 8 ]Semua Baik-Baik Saja

            Langit malam bertaburan bintang dan bulan sabit yang tampak cantik malam ini menemani Arika yang sedang duduk di teras. Malam ini malam minggu tapi Arika tidak pergi kemanapun seperti layaknya remaja seusianya, dia memilih untuk mengerjakan tugas kuliahnya yang cukup banyak.
“Tugas minggu ini banyak sekali”, keluh Arika.
Walaupun sedikit mengeluh tapi Arika tetap berusaha mengerjakan semuanya sebaik mungkin.
Arika adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan sederhana di pinggir kota bersama beberapa orang lainnya yang bernasib sama sepertinya. Arika sudah tinggal disana selama sembilan belas tahun, tepatnya sejak Bu Sri pemilik panti asuhan itu dititipi Arika oleh seorang bidan yang membantu proses kelahiran Arika. Ibunya meninggal saat melahirkan Arika, sedangkan ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah dia ketahui keberadaannya. Tapi, walaupun Arika seorang yatim piatu, dia selalu berusaha menikmati hidupnya. Karena dia berprinsip hidup hanya sekali dan dia harus memanfaafkannya sebaik mungkin walaupun dalam keadaan yang terbatas.
            Sekarang Arika duduk di semester empat jurusan Bahasa Indonesia di salah satu universitas swasta di kota itu. Dia pun seringkali merasa kalau dia bermimpi bisa sampai di bangku kuliah. Semua itu tidak dia dapatkan begitu saja, namun dengan penuh perjuangan. Pagi hari, Arika membantu Bu Sri untuk mengurus adik-adiknya yang ada di panti itu, mulai dari menyiapkan sarapan sampai membantu menyiapkan perlengkapan sekolah mereka. Setelah adik-adiknya berangkat ke sekolah, Arika pun bersiap-siap berangkat bekerja. Dia bekerja di sebuah Laundry yang tidak jauh dari panti asuhan tempat tinggalnya, dan di malam hari Arika kuliah. Setiap harinya semua itu dia lakukan dengan penuh semangat dan senyuman tanpa banyak mengeluh.
            “Arika, ayo masuk. Diluar dingin”, terdengar suara Bu Sri memanggilnya.
            “Iya Bu. Sedikit lagi tugas Arika selesai.
            Tak lama kemudian Bu Sri datang dan membawa secangkir teh hangat untuk Arika.
            “Ini, minum dulu”.
            “Terima kasih Bu”.
            “Ibu senang sekali di panti asuhan ini ada anak seperti kamu. Sebelum kamu datang kesini, panti ini rasanya sepi sekali. Tapi sejak kamu tinggal disini, panti asuhan ini jadi penuh warna”, kata Bu Sri.
            “Ah, Ibu ini bisa saja. Arika kan jadi besar kepala”, kata Arika.
            “Hahaha”, Bu Sri tertawa kecil.
            “Ibu ingat, setiap ada pasangan suami istri yang datang untuk mengadopsi kamu, kamu selalu saja menangis dan bilang tidak ingin pergi dari sini. Itu membuat ibu jadi semakin tidak tega untuk memberikan kamu untuk diadopsi”, tambah Bu Sri lagi.
            “Arika senang tinggal disini. Rumah Arika ya disini. Bersama Ibu dan adik-adik yang lain”, kata Arika tersenyum.
            “Senyummu itu selalu bisa membuat hati ibu menjadi tenang. Cepat selesaikan tugas kuliahmu, lalu cepat tidur. Ibu masuk kedalam dulu”, kata Bu Sri.
            “Siap Bu”.
            Arika kembali terbenam dalam keasyikannya mengerjakan tugasnya hingga akhirnya semua tugasnya pun selesai.
****
            “Ibu, Arika berangkat kuliah dulu”, kata Arika.
            “Hati-hati dijalan”, pesan Bu Sri.
            Hari ini Arika ada tes kecil dikampusnya. Karena Arika selalu belajar setiap harinya jadi dia merasa tenang-tenang saja berangkat ke kampusnya hari ini.
            “Kuliah hari ini sampai disini saja. Selamat malam”.
            Mata kuliah jam pertama dan tes kecil untuk hari ini sudah berakhir dan masih ada waktu lima belas menit sebelum mata kuliah selanjutnya dimulai.
            “Ri, kamu pasti bisa jawab semua soal tadi ya?”, kata Erin sahabat Arika.
            “Aku jawab semampuku saja”, kata Arika.
            “Jawaban ‘semampu’mu pasti benar semua. Aku yakin. Secara kamu selalu menjadi bintang dan orang terpintar di angkatan kita”, kata Diah, sahabat Arika yang satunya lagi.
            “Kalian jangan memujiku seperti itu. Aku kan jadi malu”, kata Arika.
            “Ngomong-ngomong, kamu sudah menjawab pernyataan cinta dari Arya?”, tanya Erin.
            “Belum. Aku gak tahu harus jawab apa”, kata Arika.
            “Heh?”
            “Dasar anak bodoh”, kata Erin.
            “Tadi katanya aku pintar, tapi kenapa sekarang kamu bilang aku bodoh?”, tanya Arika.
            “Astaga anak ini”, kata Erin.
            “Kalau kamu juga suka sama Arya, kamu jawab saja iya. Tapi kalau kamu gak suka, ya sudah bilang saja kamu gak ada perasaan apapun pada Arya. Beres kan?”, kata Diah.
            Arika mencerna kata-kata kedua sahabatnya itu. Arika memang menyukai Arya dan Bu Sri juga tidak melarang Arika untuk pacaran. Jadi kalau Arika menerima cinta Arya, tidak akan jadi masalah.
            “Kamu jangan menyia-nyiakan Arya. Dia itu orang yang baik. Aku sudah kenal dia sejak SMA”, kata Erin lagi.
            Saat mereka bertiga sedang mengobrol, Arya, orang yang sedang mereka bicarakan menghampiri mereka.
            “Arika, aku ingin bicara sama kamu pulang kuliah nanti. Bisa?”, tanya Arya.
            “Iya. Bisa”, jawab Arika.
            “Sampai nanti”, kata Arya tersenyum pada Arika dan meninggalkan mereka bertiga.
            Mata kuliah jam kedua pun akhirnya berakhir juga. Kuliah hari ini selesai sudah walaupun lagi-lagi harus pulang dengan tugas yang banyak.
            “Arika, kami duluan ya”, kata Erin.
            “Good luck dan jangan korbankan cintamu”, tambah Diah.
            Arika hanya mengangguk. Sepertinya dia sulit untuk berbicara. Dan akhirnya tinggal Arika dan Arya yang ada dikelas itu.
            “Aku antar pulang ke panti ya. Kita bicaranya sambil jalan saja. Biar kamu gak kemalaman pulangnya”, kata Arya dan Arika menanggapinya dengan sebuah anggukkan kepala.
            “Aku suka sama Arika. Perasaan Arika padaku bagaimana?”, tanya Arya dengan sedikit terbata.
            “Eh?”, kata Arika sedikit kaget.
           “Kalau kamu tidak suka sama aku juga gak apa-apa kok. Kamu jawab yang jujur saja”, kata Arya lagi.
            “Apa yang membuat kamu suka sama aku yang gak punya apa-apa ini?”, tanya Arika.
            “Senyummu, semangat dalam dirimu, dan kebaikan hatimu. Senyuman dan sikap riangmu itu mengatakan seolah-olah semua akan baik-baik saja walaupun dengan semua keterbatasanmu”, kata Arya.
            “Apa aku sebaik itu ya?”, tanya Arika.
            Arya mengangguk sambil tersenyum dan wajahnya sepertinya terasa panas setelah mengatakan kata-kata itu.
            Sesaat hening sejenak. Yang terdengar hanya langkah kaki mereka berdua dan hembusan angin malam perkotaan yang sedikit berdebu hingga akhirnya Arika mengatakan isi hatinya.
            “Aku juga suka sama Arya”
           Arya pun kaget mendengar pernyataan Arika yang tiba-tiba begitu, dan Arya merasa sangat senang.
            “Terima kasih. Mulai sekarang aku akan membuat Arika menjadi seseorang yang istimewa dalam kehidupanku”.
            Arika pun mengangguk sambil tersenyum senang dan mereka melanjutkan perjalanan pulang tanpa sepatah katapun karena mereka sama-sama tegang.
            “Aku akan membuat hidupku penuh warna. Dan aku yakin semua akan baik-baik saja. Apalagi sekarang ada seorang lagi yang istimewa dalam hidupku. Aku akan bersemangat dan pantang menyerah walaupun hidupku penuh keterbatasan. Aku akan membuat hidupku terasa lebih lama agar aku bisa berbuat lebih banyak kebaikan”, itulah yang ada di pikiran Arika saat ini.

Minggu, 19 Februari 2012

[Tema 7] Laut dan Kenangan

            Matahari secara perlahan mulai terbenam dan keindahan langit senja mulai terlihat. Angin yang bertiup sepoi-sepoi, deburan suara ombak, dan pasir pantai yang berwarna hitam menemani seorang gadis cantik berambut hitam dan panjang, berkulit putih dan tidak terlalu tinggi yang bernama Sani yang sedang duduk di tepi pantai sambil memandangi laut biru.
            Sebulan sekali Sani dan kakak laki-lakinya yang bernama Surya selalu datang ke pantai itu. Pasir pantainya yang berwarna hitam dan laut yang masih terjaga kebersihannya membuat Surya dan Sani sangat suka tempat itu. Tapi, sejak setahun yang lalu, Surya tidak bisa lagi menemani Sani pergi ke pantai itu.
            “Apa kakak baik-baik saja disana? Sani datang untuk menemui kakak”, kata Sani.
            Sani tak mampu menahan air matanya agar tidak menetes sore itu, dan kejadian setahun yang lalu kembali terlintas di ingatannya.
            Hari itu adalah ulang tahun Sani yang kelima belas. Surya memberikan kado ulang tahun sepeda untuk adik kesayangannya itu yang dia beli dari gaji pertamanya. Sani merasa sangat senang hari itu, sehingga dia memutuskan untuk mencoba sepeda barunya dan pergi ke pantai itu bersama kakaknya.
            “Kak Surya, tunggu Sani. Jangan cepat-cepat dong”, kata Sani, dengan sedikit berteriak.
            “Ah, dasar lelet. Kayuh sepedanya lebih cepat lagi”, kata Surya.
            Sepuluh menit kemudian mereka pun sampai di tempat tujuan. Sani memarkir sepedanya dan meletakkan sandalnya di keranjgang depan sepedanya lalu Sani segera berlari kepantai.
            “Laut…”, teriak Sani.
            “Kalau sampai disini kamu selalu saja kegirangan seperti itu. Dasar anak aneh”, ejek Surya.
            “Aneh-aneh begini adik kak Surya juga kan. Berarti kakak lebih aneh lagi. Hahaha..”.
            “Dasar adik durhaka”.
            “Biarin”.
            Setelah lelah berjalan sepanjang pantai dengan telanjang kaki, kakak beradik itu memutuskan untuk istirahat sebentar sambil menikmati indahnya langit senja, laut biru dan suara ombak.
            “Ternyata adik kakak sudah besar ya”, kata Surya sambil mengacak-acak rambut Sani.
            Sani memandangi kakaknya sambil tersenyum. Biasanya Sani akan merasa tenang saat memandangi wajah Surya, tapi kali ini, ada suatu kecemasan yang melanda hati Sani. Ada apa ya? Kata-kata itu yang sekarang terlintas di benak Sani. Tapi Sani, segera menghapus semua hal buruk yang ada dipikirannya. Semua pasti baik-baik saja.
            “San, kok bengong? Ada yang salah di wajah kakak?”, tanya Surya.
            “Ah, gak ada kok. Tapi, setelah Sani perhatikan, ternyata kak Surya ganteng ya”.
            “Kamu baru sadar ya”.
            “Walaupun kakak ganteng tapi kenapa kakak gak punya pacar ya?”, tanya Sani.
            “Kakak memang belum mau punya pacar. Kakak masih ingin main sama adik kakak yang manis ini”, kata Surya sambil kembali mengacak-acak rambut Sani.
            “Sani, jadi terharu”, kata Sani yang kemudian memeluk kakaknya.
            “Nanti kalau kakak sudah gak bisa nemenin Sani, kamu baik-baik ya”, kata Surya yang masih memeluk Sani.
            “Memangnya kakak mau kemana?”, tanya Sani.
            “Siapa tahu saja ada putri raja yang mau sama kakak, jadi kan kakak harus tinggal di istana”, kata Surya dengan nada bercanda.
            “Mana ada putri yang mau sama orang kayak kakak.”
            “Adik nakal, sini kamu, kakak cubit”.
            Sani pun berlari sebelum kakaknya sempat mencubitnya. Sore itu semua terasa menyenangkan. Laut pun menjadi penonton tingkah kekanak-kanakan kakak beradik itu.
            Matahari sudah tak menampakkan sinarnya lagi. Langit semakin gelap dan bintang pertama di langit sudah bersinar. Hari berlalu begitu cepat dan sudah saatnya mereka berdua untuk pulang karena malam ini mereka sekeluarga akan merayakan ulang tahun Sani.
            “Kak, terima kasih untuk hadiahnya dan untuk semua hal hari ini”, kata Sani.
            “Sama-sama adik kakak yang manis”, kata Surya sambil tersenyum.
            “Ayo pulang, ibu pasti sudah masak enak untuk ulang tahunmu hari ini”, kata Surya lagi.
            Surya membiarkan Sani memimpin jalan. Hari semakin gelap, hanya cahaya lampu jalan yang remang-remang yang menemani mereka mengayuh sepeda mereka masing-masing. Kendaraan bermotor pun hanya sedikit yang lalu lalang, sehingga membuat mereka santai mengayuh sepedanya.
            Rumah mereka sudah dekat, empat menit lagi merekan akan sampai dirumah dan menikmati masakan lezat ibu mereka. Sani sudah menyebrang jalan lebih dulu. Namun saat Surya akan menyebrang, dari arah belakang datang sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang akhirnya menabrak Surya.
            Mendengar suara benturan yang keras, Sani menoleh ke belakang dan dilihatnya kakaknya sudah tergeletak di atas aspal berlumuran darah. Sani melempar sepedanya dan berlari ke tempat Surya tergeletak.
            “Kak, bangun kak”, Sani mengguncang-guncangkan tubuh Surya. Namun Surya tetap tidak bergerak.
            “Kakak……”
*****
            “Sani, Sani…”
            Sani mendengar ada suara yang memanggilnya dan itu membuatnya tersadar dari lamunannya. Pipinya terasa basah, ternyata dia menangis selama terhanyut dalam lamunannya tadi.
            Ternyata yang memanggil namanya adalah ayah dan ibunya yang sekarang berada didepan matanya membawa kue ulang tahun untuknya. Hari ini hari ulang tahunnya dan juga hari kematian kakaknya Surya.
            Sani menghapus air mata di pipinya dan tersenyum pada ayah dan ibunya.
            “Ayo tiup lilinnya, sayang”, kata ibunya.
            Sebelum meniup lilin ulang tahunnya yang keenam belas, Sani berdoa kepada Tuhan.
            “Tuhan, terima kasih untuk semuanya”, kata Sani dalam hati dan dia meniup lilinnya.
            Ayahnya memberikan kado ulang tahun yang dibungkus dengan kertas kado berwarna merah muda pada Sani. Sani memeluk kedua orang tuanya dan lagi-lagi laut menjadi saksinya.
            “Kak Surya, kakak baik-baik saja kan disana. Lihatlah, Sani, ayah, ibu, kami semua baik-baik saja disini. Sekarang Sani sudah enam belas tahun. Sani ingin menjadi orang yang lembut dan penuh semangat seperti kakak. Sani bahagia bisa jadi anak ayah dan ibu dan menjadi adik kak Surya. Kita semua sayang kak Surya”, kata Sani dalam hatinya.
            Hembusan angin pantai yang menyejukkan menerpa wajah Sani. Walaupun yang ada di pantai itu hanya mereka bertiga, tapi Sani merasakan kalau Surya juga ada disana. Tersenyum untukknya.
            “Kak, Sani akan datang untuk mengunjungi kakak lagi saat ulang tahun Sani tahun depan”.
            Sani menggandeng tangan ayah dan ibunya dan mereka pun meninggalkan pantai itu. Perlahan suara ombak mulai menghilang dan akhirnya tak terdengar lagi oleh telinga, tapi laut itu akan selalu menjadi kenangan.