Rabu, 29 Februari 2012

[Tema 17] Selamat Tinggal

Yuna berkali-kali melirik jam tangannya sambil sesekali dia mengintip dari jendela ruang tamu dirumahnya untuk memastikan apakah Ryo sudah datang menjemputnya atau belum. Hari ini Yuna dan Ryo berjanji akan pergi ke pasar malam yang tak jauh dari rumah mereka bersama-sama. Sekarang sudah pukul tujuh malam lewat lima belas menit, sedangkan Ryo berjanji menjemput Yuna pukul tujuh malam.
            Ryo dan Yuna menjadi sahabat sejak mereka duduk di bangku kelas dua SMP. Saat itu Ryo yang berasal dari luar kota pindah ke sebelah rumah Yuna. Sampai SMA mereka bersekolah di sekolah yang sama walaupun beda kelas. Namun, akhir-akhir ini mereka jarang bertemu karena sibuk dengan urusan masing-masing dan terlebih lagi sekarang mereka kuliah di universitas yang berbeda.
            Yuna kembali melirik jam tangannya sudah jam tujuh tiga puluh malam. Tak lama kemudian, terdengar suara Ryo memanggil.
            “Yuna…”
            “Kamu terlambat tiga puluh menit. Dasar lelet”, kata Yuna pada Ryo setelah dia membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
            “Maaf. Aku baru pulang dari kampus ada hal yang harus aku selesaikan. Sebagai permintaan maaf, ini coklat untukmu”.
            “Jangan pikir dengan coklat ini aku memaafkanmu begitu saja”, kata Yuna.
            “Masalah itu kita bahas nanti saja. Ayo cepat kita berangkat”, kata Ryo sambil menarik tangan Yuna.
            Mereka pergi ke pasar malam dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan Ryo menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Yuna malam ini.
“Eh, Yun”, kata Ryo memulai pembicaraan.
“Apa?”
“Tumben rambutmu kamu gerai? Trus pakai anting dan lipgloss segala”, kata Ryo dan kata-katanya itu berhasil membuat wajah Yuna menjadi memerah mendengar kata-kata Ryo.
Yuna mempercepat langkah kakinya agar dia bisa menjaga jarak dengan Ryo dan agar Ryo tidak menyadari kalau wajahnya memerah.
“Tunggu dong Yun, jangan jalan cepat-cepat begitu”, kata Ryo.
“Kalau tidak cepat nanti kita hanya bisa main sebentar”, kata Yuna.
Yuna kembali mempercepat langkah kakinya. Namun, kerena tidak hati-hati dan kurang memperhatikan jalan akhirnya Yuna tersandung dan jatuh.
“Aduh…”
“Kamu tidak apa-apa Yun?”, tanya Ryo sambil mengulurkan tanggannya untuk membantu Yuna berdiri.
“Tidak apa-apa kok”, kata Yuna sambil menerima uluran tangan Ryo dan dia pun berdiri kembali.
“Wajahmu sepertinya agak memerah ya”, kata Ryo mendadak.
“Eh”, hanya kata itu yang terucap dari bibir Yuna yang membuatnya semakin merasa malu.
“Ternyata kamu cantik juga ya kalau tersipu malu seperti itu”, kata Ryo dan itu membuat jantung Yuna seperti berhenti berdetak selama beberapa detik.
Yuna hanya terpaku diam setelah mendengar kata-kata Ryo sementara Ryo sudah berjalan beberapa langkah mendahului Yuna.
“Yun, ayo cepat”, panggil Ryo dan Yuna pun tersadar dari diamnya dan berjalan menyusul Ryo.
Akhirnya mereka sampai di pasar malam dalam dua puluh menit. Malam ini tidak terlalu ramai mungkin karena hari ini hari Selasa dan Yuna merasa sangat senang. Terakhir kali dia pergi ke pasar malam saat masih duduk di kelas dua SMA dan saat itu dia juga pergi bersama Ryo.
            “Ryo, aku mau naik bianglala. Ayo”, kata Yuna menarik tangan Ryo dan Ryo hanya menurut kemana Yuna membawanya.
            Setelah membeli tiketnya, mereka berdua harus bersabar menunggu giliran mereka untuk naik.
            “Untung saja malam ini cerah ya”, kata Ryo pada Yuna.
            “Iya”, kata Yuna sambil menganggukkan kepalanya.
            Setelah menunggu beberapa saat akhirnya tibalah giliran mereka berdua. Karena ukuran bianglalanya tidak terlalu besar maka setiap bianglala hanya dinaiki oleh dua orang dewasa saja. Perlahan-lahan bianglalanya mulai berjalan. Satu, dua, tiga, dan sekarang sudah putaran keempat. Satu putaran lagi giliran mereka akan berakhir.
            “Wah, satu putaran lagi ya”, kata Yuna.
            “Iya. Kamu mau main apa setelah ini?”, tanya Ryo.
            “Apa ya?”
            Belum sempat Yuna menjawab, tiba-tiba saja bianglalanya berhenti berputar. Ternyata terjadi kesalahan teknis pada mesin bianglala tersebut dan saat ini Yuna dan Ryo sedang berada di bagian atas.
            “Ryo, bagaimana ini? Sampai berapa lama kita akan berada diatas sini?”.
            “Entahlah. Kita tunggu saja. Kamu takut?”
            “Sedikit”
            “Kalau begitu kamu dengar lagu ini saja ya”, kata Ryo sambil mencari-cari sesuatu dalam saku celananya.
            Ryo mengeluarkan ponsel dan earphonenya. Dia memutar lagu kesukaan Yuna dan memasangkan earphonenya ke telinga Yuna.
            “Terima kasih”, kata Yuna tersenyum.
            Langit malam yang bertaburan bintang dan bulan sabit yang cantik menemani mereka saat terjebak dalam bianglala. Sudah lima menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kalau bianglalanya sudah normal kembali.
            “Yuna, aku suka kamu”, kata Ryo namun Yuna tidak bisa mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Ryo karena volume music player di ponsel Ryo cukup keras.
            Melihat bibir Ryo yang bergerak seperti mengatakan sesuatu, Yuna membuka earphonenya karena dia sama sekali tidak mendengar apapun selain lagu dari ponsel Ryo.
            “Ryo, tadi sepertinya kamu mengatakan sesuatu”, kata Yuna.
            “Ah, gak kok”, kata Ryo dengan senyum hangatnya seperti biasa.
            Beberapa saat kemudian akhirnya bianglala tersebut kembali normal. Yuna dan Ryo pun melanjutkan dengan permainan yang lain. Ryo senang melihat Yuna yang bisa tersenyum ceria malam ini karena sudah lama Ryo tidak melihat Yuna seceria malam ini.
            “Eh, sudah jam sebelas”, kata Yuna setelah melihat jam tangannya.
            “Iyakah? Gak terasa ya”, kata Ryo.
            “Iya. Kalau begitu ayo kita pulang saja”, ajak Yuna.
            Ryo mengantar Yuna sampai pintu depan rumahnya.
            “Ryo, kamu mau mampir dulu?”, tanya Yuna.
            “Tidak usah. Besok saja aku kesini lagi”, jawab Ryo.
            “Terima kasih ya untuk selama ini. Entah kapan aku bisa main lagi bareng Ryo”, kata Yuna dan kata-kata Yuna membuat perasaan aneh timbul di hati Ryo, seperti kata-kata perpisahan dari Yuna.
            “Besok juga kita bisa main lagi kok. Aku pulang dulu”, kata Ryo.
            “Sampai jumpa, Ryo”, kata Yuna sambil melambaikan tangannya.
*****
            “Ryo, ayo bangun”, ibunya membangunkannya.
            “Kenapa Ma? Masih pagi juga. Ryo kan kuliahnya jam sebelas”, kata Ryo dengan nada suara malas.
            “Cepat bangun. Yuna masuk rumah sakit”, kata ibunya.
            Dan segera saja Ryo bangun dari tempat tidurnya. Tanpa mandi terlebih dahulu dia mengganti pakaiannya dan segera menuju ke rumah sakit tempat Yuna dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Ryo bertemu dengan ayah dan ibu Yuna. Saat ini Yuna masih berada di ruang ICU.
            “Tante, apa yang terjadi? Yuna kenapa?”, tanya Ryo.
            “Tadi pagi Yuna tiba-tiba saja pingsan dikamar mandi”, kata ibu Yuna pada Ryo.
            “Pingsan? Maksudnya tante?”, tanya Ryo.
            “Sebenarnya sejak delapan bulan yang lalu dokter mendiagnosa Yuna terkena tumor otak. Dan dokter mengatakan sisa hidup Yuna tidak lama lagi. Sebenarnya Yuna sudah sering keluar masuk rumah sakit seperti ini. Tapi sejak beberapa hari yang lalu kondisinya semakin memburuk”, kata ibu Yuna.
            “Tumor otak? Kenapa Yuna tidak pernah cerita pada Ryo? Kenapa tante?”, tanya Ryo.
            “Yuna melarang tante bercerita pada kamu. Katanya takut akan membuat Ryo sedih. Yuna ingin agar saat di dekat Ryo, Ryo bisa selalu tersenyum untuknya. Di hari-hari terkahirnya”.
            “Yuna…”
            Ryo sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Kenapa sahabatnya tidak menceritakan hal seperti ini kepadanya. Dan kenapa disaat sahabatnya membutuhkannya dia tidak bisa membantunya. Ryo merasa sangat bersalah pada dirinya sendiri dan pada Yuna.
            Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruang ICU dan membawa berita bahwa Yuna tidak bisa diselamatkan lagi. Ryo, kedua orang tua Yuna tidak mampu menahan air mata mereka dan Ryo lah yang merasa paling terpuruk. Kemarin malam dia masih bisa melihat senyuman sahabatnya tapi sekarang, sahabatnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
*****
            Satu bulan telah berlalu sejak kematian Yuna. Perlahan-lahan orang-orang yang mencintai Yuna akhirnya rela melepaskan kepergian Yuna. Namun, kenangan Yuna akan selalu ada di hati mereka.
            “Permisi”
            “Iya”, kata Ryo membuka pintu rumahnya.
            “Ini ada paket untuk saudara Ryo”, kata petugas pengantar paket.
            “Paket?”
            “Silahkan tanda tangan disini”, kata petugas itu dan Ryo pun menandatangani bukti terima paket itu.
            “Terima kasih”, kata petugasnya dan segera meninggalkan rumah Ryo.
            Ryo kaget saat membuka paket itu. Isinya CD lagu dari penyanyi kesukaan Ryo yang dirilis satu bulan yang lalu. Ryo tidak sempat membelinya karena dia masih bersedih setelah kepergian sahabatnya untuk selamanya. Bersama CD itu ada selembar surat untuk Ryo.
Untuk sahabatku, Ryo
Maaf, selama ini aku tidak cerita apapun pada Ryo. Aku tidak ingin Ryo ikut bersedih karena penyakitku. Aku ingin disaat-saat terakhirku bisa bermain dengan gembira bersama Ryo dan aku bisa melihat Ryo tersenyum untukku. Aku tahu waktuku sudah tidak lama lagi, jadi aku memutuskan untuk mengajak Ryo pergi ke pasar malam hari ini. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya aku bisa melihat senyum Ryo.
Mungkin saat membaca ini aku sudah pergi jauh.
Jangan bersedih lagi ya. Berbahagialah untukku.
Selamat tinggal Ryo dan semua kenangan indah yang Ryo berikan untukku.
Terima kasih untuk semuanya, terima kasih sudah ada di sisiku selama ini.
Oh iya satu lagi, selamat mendengarkan CDnya. Aku yakin Ryo pasti belum membelinya.
Dari Yuna
            “Terima kasih Yuna. Aku senang karena bisa menjadi sahabatmu”, kata Ryo dalam hatinya dan Ryo tidak mampu lagi menahan air matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar