Jumat, 25 Januari 2013

「ALBUM TANPA JUDUL」Album Pertama


Perlahan fajar di ufuk timur mulai terlihat yang dengan segera menggantikan bintang-bintang yang tadinya bersinar dalam kegelapan langit malam. Cahayanya yang berwarna orange terbias dilangit sehingga memancarkan keindahan di cakrawala. Hangat sinarnya pun membuat makhluk hidup mulai terbagun dari tidurnya. Jika pagi tiba maka yang pertama terdengar biasanya suara ayam berkokok, itu pun jika kita tinggal di pedesaan. Tapi jika kita tinggal di kota padat penduduk seperti Denpasar, tentunya mendengar suara kokokan ayam di pagi hari itu hal yang langka. Hal yang biasa membangunkan kita dipagi hari adalah suara alarm, entah itu alarm hanpdhone atau jam alarm konvensional. Pagi hari jalanan kota Denpasar masih sepi, namun seiring beranjaknya sang surya dari peraduannya, perlahan jalanan kota Denpasar yang tadinya sunyi menjadi padat akan kendaraan para warganya yang siap memulai aktivitasnya.
          “Rin, ayo bangun. Sudah siang”, tedengar suara lembut seorang wanita sambil mengetuk pintu kamarnya sehingga  membuat Arini terbangun dari tidurnya. Tangan kanannya perlahan meraih meja yang ada disebelah tempat tidurnya lalu mencari dimana dia meletakkan telepon genggamnya. Arini terkejut dan langsung bangun dari tempat tidurnya saat melihat layar telepon genggamnya. Jam tujuh lewat sepuluh menit. Ternyata malam sebelumnya Arini lupa menyalakan alarm sehingga membuatnya bangun kesiangan.
          “Astaga, aku kesiangan”, Arini langsung lompat dari tempat tidurnya lalu meraih handuk yang tergantung di belakang pintu kamarnya dan bergegas ke kamar mandi.
          Arini, itulah nama gadis itu. Seorang gadis Bali yang terlahir dalam sebuah keluarga sederhana di kota Denpasar. Sebulan yang lalu usianya genap dua puluh dua tahun dan sekarang dia adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Jepang disalah satu universitas di kota Denpasar. Arini tidaklah terlalu cantik tetapi dia seorang gadis manis yang ceria dan keceriaannya itu merupakan kelebihan Arini dibandingkan gadis-gadis lainnya. Tinggi badannya hanya seratus lima puluh delapan centimeter, kulitnya yang berwarna kuning langsat dan panjang rambutnya hanya sebahu. Matanya agak sipit padahal dia sama sekali bukan keturunan Cina. Dari matanya itu selalu terpancar keceriaan seakan Arini jauh dari berbagai permasalahan. Arini akan terlihat lebih manis lagi jika sedang tersenyum dan saat itulah lesung pipinya akan terlihat jelas. Untuk gadis-gadis seusianya make up adalah sebuah kebutuhan tapi tidak untuk Arini, dia lebih suka dengan hal-hal yang bersifat alami.
          Hari ini merupakan hari yang penting untuk Arini dan dia tidak seharusnya terlambat pada saat-saat seperti ini. Interview pekerjaan. Arini mandi secepat mungkin dan menyiapkan semua yang dia perlukan dengan cepat juga. Pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit, Arini siap berangkat ke kantor sebuah majalah yang ada di kota Denpasar dimana Arini mengirimkan lamaran pekerjaannya..
“Ibu, Arini berangkat dulu”, kata Arini sambil mencium tangan ibunya.
“Lho? Sarapan paginya Rin?”, tanya ibunya yang melihat anaknya tergesa-gesa.
“Arini gak sarapan hari ini. Arini sudah telat Bu”, jawab Arini.
Arini mengendarai motor maticnya menyusuri jalanan kota Denpasar. Untung saja jalanan hari ini belum macet. Dalam perjalanan terbayang berbagai macam pertanyaan di kepala Arini yang mungkin saja akan ditanyakan oleh orang yang akan mewawancarainya hari itu dan bagaimana  jika dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu nantinya? Padahal Arini sangat menginginkan pekerjaan itu.
Setelah dua puluh menit menyusuri jalanan kota Denpasar, akhirnya Arini sampai juga di tempat tujuannya, kantor Sunset Magazine. Arini melirik jam tangannya dan ternyata dia tidak terlambat dan Arini masih punya waktu selama sepuluh menit. Dengan segera Arini masuk ke dalam bangunan berlantai empat itu. Bagian dalam bangunan itu di cat berwarna putih dan tekesan minimalis. Di lobi terdapat sebuah meja respsionis dan di dinding sekitar lobinya terpajang beberapa cover Sunset Magazine yang telah terbit yang dibingkai dengan apiknya. Segera saja Arini menuju ke meja resepsionis dan menanyakan dimana letak ruang personalianya.
“Permisi Mbak, saya Arini yang akan interview hari ini. Saya ingin bertemu dengan Pak Wayan Artana manager personalianya. Apakah Pak Wayan Artananya ada?”, tanya Arini dengan sopan.
“Tunggu sebentar ya Mbak Arini”, kata resepsionis itu dengan ramah dan dia segera menelepon untuk memastikan apakah orang yang dicari Arini ada di kantor atau tidak.
Resepsionis itu menutup teleponnya dan terlihat siap memberi informasi pada Arini. Namun sebelum sempat berkata apapun, tiba-tiba ada seorang pria yang menyerobotnya. Sekilas wajahnya tampan dan sepertinya dia orang Jepang. Tinggi laki-laki itu paling tidak seratus tujuh puluhan centimeter. Rambutnya pendek , berwarna hitam dan diberi gel agar tampak  berdiri seperti bulu landak. Tapi kulitnya tidak seputih orang Jepang pada umumnya. Mungkin saja karena dia sudah lama di Bali sehingga kulitnya berubah menjadi kecoklatan karena iklim di Bali yang cukup panas. Laki-laki itu terkesan cool dan sepertinya baik hati. Arini secara tidak langsung terpesona pada penampilan laki-laki. Arini pun terdiam sejenak dan terus memperhatikannya dan tak dapat dipungkiri hal itu membawa Arini sedikit terhanyut dalam lamunan.
          “Kalau setiap hari ketemu cowok ganteng seperti itu, aku pasti betah kerja disini”, kata Arini dalam hati dan pandangan matanya masih terarah ke laki-laki itu yang kini sudah ada di depan pintu dan siap keluar dari gedung itu.
“Mbak Arini…. Mbak Arini”, Arini mendengar suara resepsionis itu dan seketika lamunan Arini buyar.
“Eh”, hanya kata itu yg keluar dari mulut Arini saat itu.
“Mbak Arini, silahkan naik ke lantai tiga, ruang personalianya ada tepat didepan lift. Liftnya ada disebelah sana”, kata resepsionis itu sambil menunjuk kearah lift.
          “Maaf Mbak, kalau tangganya disebelah mana ya?”, tanya Arini
“Oh, kalau tangganya ada disebelah sana Mbak”, jawab resepsionis itu ramah sambil menunjukkan dimana tangganya.
“Terima kasih Mbak”
          Arini lebih
memilih menggunakan tangga. Lalu Arini segera menuju kearah yang ditunjukkan oleh resepsionis itu dan perlahan Arini menaiki satu persatu anak tangga itu menuju ke lantai empat dan hal itu membuat tenaganya cukup terkuras. Arini lebih memilih naik tangga karena menurutnya lebih aman daripada kalau naik lift. Arini bisa dibilang mengalami sedikit trauma dengan lift karena dulu saat sedang magang di hotel, Arini terjebak didalam lift sendirian selama lima belas menit. Sejak saat itulah Arini tidak pernah lagi naik lift.
          Arini sampai di lantai tiga gedung itu, dan segera dia mencari ruangan personalianya. Ruang personalianya ada tepat di depan lift seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi.
          “Permisi”, kata Arini sambil mengetuk pintu ruangan itu.
          “Ya, silahkan”, terdengar jawaban dari dalam ruang persoalia Sunset Magazine.
          Arini pun masuk ke ruangan itu dan dilihatnya seorang laki-laki berkaca mata duduk dibelakang meja di ujung ruangan itu. Sepertinya usia laki-laki itu sekitar tiga puluhan tahun, tubuhnya tidak terlalu gemuk dan sepertinya tidak terlalu tinggi juga. Dia berpakaian rapi seperti layaknya seorang pegawai kantoran.
          “Selamat pagi Pak. Saya mau bertemu dengan Pak Wayan Artana manager personalianya. Saya Arini yang akan interview hari ini”, kata Arini menjelaskan tujuannya datang ke Sunset Magazine pada laki-laki berkaca mata itu.
          “Oh, iya, silahkan duduk Arini. Saya Wayan Artana, manager personalia Sunset Magazine”, jelas laki-laki itu.
          Arini pun duduk di kursi yang ada tepat didepan meja manager personalia Sunset Magazine. Arini sangat gugup.
“Tenang Arini, santai..”, kata Arini dalam hatinya.
Namun alih-alih menjadi tenang, Arini malah menjadi semakin gugup. Tangannya yang tadinya kering kini menjadi lembab karena keringat dinginnya. Wajah Arini pun terlihat menjadi sedikit pucat dan Pak Wayan menyadari itu.
“Arini, tidak usah gugup seperti itu. Saya tidak makan orang kok”, kata Pak Wayan dan Arini hanya tersenyum mendengar perkataan Pak Wayan itu.
“Saya sudah membaca CV mu, sekarang kamu masih menjadi seorang mahasiswa di jurusan Bahasa Jepang kan? Lalu, kenapa kamu ingin bekerja di perusahaan kami?”, tanya Pak Wayan.
          “Saya ingin menerapkan ilmu yang saya dapat dikampus karena Sunset Magazine memiliki rubrik khusus berbahasa Jepang”, jawab Arini singkat.
Pak Wayan tersenyum mendengar jawaban Arini. Kemudian dia melanjutkan memberikan beberapa pertanyaan lagi pada Arini dan Arini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan cukup baik, walaupun dia masih tetap gugup.
“Oke. Cukup”, kata Pak Wayan. “Menurut saya jawabanmu cukup memuaskan”, tambah Pak Wayan lagi.
“Terima kasih, Pak. Saya hanya menjawab apa adanya”, jawab Arini.
“Nanti kami akan menghubungimu untuk memberitahukan apakah kamu diterima bekerja diperusahaan kami atau tidak. Terima kasih atas kedatangannya hari ini”, kata Pak Wayan.
“Baik Pak. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat pagi”, kata Arini dan kemudian dia keluar dari ruangan personalia Sunset Magazine.
Rasa gugup Arini pun perlahan mulai menghilang setelah dia menyelesaikan interviewnya. Namun, rasa cemas masih tertinggal, apakah nantinya dia akan diterima bekerja di Sunset Magazine atau tidak. Tapi, sudahlah. Arini sudah berusaha sebaik mungkin tadi dan pasti hasilnya akan baik untuk Arini nantinya. Arini selalu berusaha berpikir optimis dalam hidupnya.
***
Dua hari berselang sejak Arini melakukan interview di Sunset Magazine. Dan pagi itu sekitar pukul sepuluh pagi, telepon genggam Arini pun berbunyi. Ternyata itu telepon dari Sunset Magazine. Tangan Arini sedikit bergetar saat akan mengankat telepon itu. Apakah Arini diterima bekerja atau tidak? Arini menjawab teleponnya dengan perasaan gugup.
“Selamat pagi”, kata Arini menjawab telepon dengan suara sedikit bergetar karena gugup.
“Selamat pagi. Saya Lina dari Sunset Magazine. Bisa saya bicara dengan Mbak Arini?”, kata yang menelepon.
“Iya saya sendiri”, jawab Arini.
“Mbak Arini, saya ingin memberitahukan kalau Mbak Arini diterima bekerja di perusahaan kami”, kata pegawai Sunset Magazine itu.
Arini terdiam mendengar kabar menyenangkan itu. Sesaat Arini tidak bisa berkata apapun karena senangnya.Akhirnya Arini bisa bekerja di Sunset Magazine.
“Mbak Arini?”, kata pegawai Sunset Magazine yang menunggu respon dari Arini.
“Eh? Iya Mbak’, jawab Arini.
“Mbak Arini silahkan datang ke perusahaan kami besok pagi pukul sembilan. Pak Wayan Artana akan menjelaskan semuanya pada Mbak Arini”.
“Baik Mbak. Terima kasih”.
“Selamat pagi”, kata pegawai Sunset Magazine yang kemudian menutup teleponnya.
Senyum kebahagian tersurat dibibir Arini. Dengan segera dia memberitahukan kabar gembira ini pada ibunya yang sedang menonton sinetron di ruang tamu. Ibunya pun sangat gembira mendengarnya dan dia mengucapkan selamat pada Arini. Mulai sekarang Arini akan memasuki dunia kerja dan dia harus mempersiapkan semuanya dengan baik agar tidak mengecewakan nantinya.
***
Keesokan harinya, Arini sudah tiba di Sunset Magazine pukul delapan lebih empat puluh menit. Arini menunggu di ruang tunggu yang ada di depan ruang personalia karena Pak Wayan Artana masih ada rapat dengan para staff dibagian personalia. Rona bahagia tak hentinya tersurat di wajah Arini karena dia diterima bekerja. Arini pun mulai membayangkan seperti apa pekerjaannya, rekan kerjanya, dan banyak hal lain yang terlintas dibenak Arini.
Sepuluh menit kemudian Pak Wayan pun menemui Arini di ruang tunggu. Hari ini pun Pak Wayan terlihat rapi seperti sebelumnya. Pak Wayan membawa beberapa dokumen ditangannya serta buku kecil yang sepertinya buku catatan pribadinya.
“Selamat pagi Arini”, sapa Pak Wayan ramah.
“Selamat pagi pak”, jawab Arini.
“Selamat bergabung di perusahaan kami. Hari ini saya akan menjelaskan beberapa hal”, tambah Pak Wayan dan Arini pun mengangguk pertanda dia menyetujui pernyataan Pak Wayan.
“Untuk satu bulan pertama kamu masih berstatus sebagai karyawan magang. Jika kinerja kamu bagus, kamu akan menjadi karyawan tetap perusahaan kami. Jadi manfaatkanlah waktu selama satu bulan ini dengan baik ya”, jelas Pak Wayan pada Arini.
“Terima kasih Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin”, kata Arini dan saat itu juga dia berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan berusaha sebaik mungkin.
“Arini, kamu akan saya tempatkan dibagian peliputan berbahasa Jepang dan selama satu bulan ini kamu akan menjadi asisten Ibu Nakayama”, jelas Pak Wayan lagi.
“Baiklah, sekarang saya akan mengantar kamu ke bagian peliputan berbahasa Jepang. Kami biasa menyebutnya Divisi Jepang”.
“Terima kasih Pak”.
Pak Wayan mengantar Arini ke Divisi Jepang sambil menjelaskan sedikit tentang Sunset Magazine. Mulai dari berdirinya perusahaan itu hingga perkembangannya saat ini. Bisa diterima bekerja di Sunset Magazine merupakan suatu kebanggaan bagi Arini dan rona bahagia tersurat jelas di wajah Arini. Akhirnya, mereka sampai di Divisi Jepang.
 “Selamat pagi Nakayama san”, kata Pak Wayan pada seorang wanita Jepang yang berada didepan mesin foto copy yang ada disalah satu sudut ruangan tersebut yang tampaknya sedang memfoto copy beberapa lembar dokumen.
“Selamat pagi Pak Wayan”, kata ibu Nakayama membalas sapaan Pak Wayan dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.
Nakayama san, begitulah biasanya wanita itu dipanggil. Dia adalah orang Jepang yang merupakan pimpinan Divisi Peliputan Berbahasa Jepang di Sunset Magazine. Perawakannya kurus dan lebih tinggi beberapa sentimeter dari Arini. Usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan, kulitnya putih dan rambutnya yang panjang berwarna kecoklatan membuatnya terlihat seperti orang jepang pada umumnya. Penampilannya terlihat santai, dia memakai celana panjang dan kemeja berwarna biru pagi itu.
“Nakayama san, ini Arini yang akan bekerja disini mulai besok”, kata pak Wayan memperkenalkan Arini pada Nakayama san.
Arini to moushimasu. Douzo yoroshiku onegai itashimasu (Saya Arini. Mohon bantuannya) ”, kata Arini memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang.
Nakayama desu. Kochira koso yoroshiku onegaishimasu”, Nakayama san membalas salam perkenalan Arini.
“Kalau begitu, Arini, saya tinggal dulu. Nanti Nakayama san akan menjelaskan tugas-tugasmu”, kata Pak Wayan pada Arini.
          “Baik Pak”, jawab Arini.
Saat Pak Wayan meninggalkan ruangan Divisi Jepang, tiba-tiba dari belakang Arini terdengar suara laki-laki yang mengucapkan salam.
Ohayou gozaimasu
Nakayama san pun membalas salam laki-laki itu, “Ohayou gozaimasu”.
Arini menoleh kearah datangnya suara laki-laki tersebut dan Arini pun terkejut. Ternyata yang mengucapkan salam “Selamat Pagi” dalam bahasa Jepang itu adalah laki-laki yang dia lihat di lobi Sunset Magazine pada hari Arini melakukan interview beberapa hari yang lalu.


Yoshi’s note.
Atarashii sakuhin desu. Ditengah kegalauan skripsi Yoshi kembali dengan sesuatu 
yang baru. Meskipun pasti masih gaje seperti sebelum-sebelumnya.
Buat semua yang sudah meluangkan waktunya untuk baca karya gaje ini, Yoshi 
ucapkan terima kasih...

Ja, sampai jumpa di Album Kedua....
Yoshi deshita.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar